Sejarah
Sistem Pers Indonesia
Disusun
oleh :
Nama : Peter Parker
NIM : d1212…
Program
Studi : S1 KOMUNIKASI
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Hogwarts University
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dewasa
ini, perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi sangat pesat. Pers pun
ikut berkembang dan menyesuaikan perkembangan politik, ekonomi, social, budaya
dan tekhnologi yang ada saat ini. Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat
bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut sebelum adanya penemuan mesin
cetak oleh Johannes Gutenberg. Namun kini kita bisa mendapatkan informasi
dimanapun dan kapanpun dengan mudahnya. Di Indonesia sendiri, perkembangan
kegiatan jurnalistik diawali dengan kedatangan bangsa belanda untuk menjajah
negeri kita. Dulu, pers digunakan oleh para pejuang kita sebagai alat untuk
mencapai kemerdekaan dan di era-era inilah cikal bakal atau pelopor surat kabar
pertama di Indonesia bermunculan, diantaranya adalah Bintang Timur, Bintang
Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Sampai
pada masa penjajahan jepang, dimana pers diambli alih oleh pemerintah jepang
dengan tujuan sebagai alat propaganda pemerintah jepang. Dimasa orde lama dan
orde baru, pers pun masih tunduk dibawah kekuasaan orang-orang atau
lembaga-lembaga tertentu. Baru pada masa reformasi pers merasakan indahnya
kebebasan ditandai dengan
lahirnya UU No. 40 tahun
1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh
menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah, dan pers pada masa ini tak lagi harus takut dengan
pembredelan saat mereka memberitkan kritik-kritik mengenai pemerintah.
Perkembangan pers di
Indonesia ini sangat menarik untuk kita pelajari. Pers sudah ada dari jaman
penjajahan, lalu berlanjut di jaman orde lama, orde baru, reformasi dan sampai
saat inipun, pers tidak berhenti berkembang untuk menyediakan informasi yang
transparent dan dapat dipertanggungjawabkan bagi masyarakat. Dengan latar
belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mempelajari mengenai sejarah
system pers di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, rumusan masalah makalah
ini adalah: “bagaimana sejarah
perkembangan system pers di Indonesia pada masa lalu sampai sekarang?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah: mengetahui sejarah perkembangan system pers di Indonesia pada
masa lalu sampai sekarang.
D. Manfaat
Manfaat dari ditulisnya makalah ini adalah, agar kita
mengerti bagaimana peran dan kerasnya perjuangan pers dimasa lalu dalam usaha
kemerdekaan, serta bagaimana system-sistem pers pada masa itu, sehingga
diharapkan perkembangan pers kedepannya menjadi lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pers
Mendengar kata
pers, tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita, setiap hari kita secara
sadar maupun tidak sadar selalu berhubungan dengan pers. Jika kita telisik
lebih jauh, pers sebenarnya telah ada di Indonesia sejak jaman dahulu, yaitu
jaman penjajahan. Namun sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mengenal
sejarah system pers di Indonesia, ada baiknya kita mengetahui makna dan arti
dari pers situ sendiri, pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa
secara berkala., secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau
Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa
latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau
“Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”.
Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian
komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media
merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses
penyampaian pesan antar manusia. ( Wikipedia
)
Menurut UU pers
no 40 tahun 1999, Pers bias diartikan sebagai sebuah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan
segala jenis saluran yang tersedia.
Beberapa
pengertian tentang pers dalam KBBI adalah
:
1) Alat cetak untuk mencetak buku
atau surat kabar.
2) Alat untuk menjepit,
memadatkan.
3) Surat kabar dan majalah yang
berisi berita.
4) Orang yang bekerja di bidang
peresuratkabaran.
Jika membahas mengenai
pers di Indonesia, kita harus memutar waktu kembali ke masa penjajahan atau
masa-masa bangsa eropa menapakkan kakinya di negeri kita. Memang tidak bisa dipungkiri,
bahwa bangsa Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah berjasa
mempelopori hadirnya dunia pers di Indonesia. Karena sebelum kedatangan bangsa
belanda, bangsa Indonesia saat itu diperkirakan belum mengenal pers. Sejarah
awal mula berkembangnya pers di Indonesia sudah dimulai pada abad ke 17, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G.
Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia
sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun
1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa
(berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia,
Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark, dicetak di Batavia
oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase
Nouvelles pada bulan Oktober 1744 ada kemungkinan bahwa Bataviase
Nouvelles ini merupakan surat kabar pertama yang terbit di Pulau Jawa pada
zaman Hindia Belanda, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche
Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di
Batavia tahun 1810.
Pers di Eropa sudah
mulai dirintis sejak awal abad ke-17, walaupun pada saat itu bentuk medianya
masih sangat sederhana, dan muatan beritanya pun masih belum bervariasi, para
pengusaha saat itu sudah meramalkan bahwa pers akan menjadi sebuah kesempatan
bisnis yang sangat menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para
pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal
pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala
dan surat kabar di Batavia. Pada saat itu tujuan mereka dalam bisnis surat
kabar ini bukan hanya untuk mencari keuntungan saja, namun mereka telah
menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para
pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan
isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang
Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal
penting dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri
jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.
Bisa dikatakan bahwa
media massa pada saat itu berfungsi sebagai alat pencatat atau pendokumentasian
segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh
pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta
orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip
majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai
masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang
Belanda dalam pendokumentasian ini. Berbagai majalah saat itu telah memuat
aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni
tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain)
serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita.
Beberapa diantaranya adalah majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw,
Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen dan masih banyak lagi.
Koran atau surat kabar
berkala di Batavia sampai pada akhir abad ke-19 masih hanya menggunakan bahasa
belanda dan para pembacanya tentu saja hanya masyarakat yang mengerti bahasa
tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland
Bestuur (penguasa dalam negeri), yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa
dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan
sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal. Beberapa hal mulai berubah
pada saat memasuki abad ke-20, lebih tepatnya di tahun 1903, koran mulai berani
membahas soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat.
Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam
Masyarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari
adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya
beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan
otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid
(tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
Berbagai macam kritik
sering dikemukakan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah
pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat
kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat.
Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para
wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian
rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara
membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa.
Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa
mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.
Anehnya, kritik-kritik
yang menerpa para petinggi ini tak lantas membuat para petinggi merasa jatuh,
bahkan dengan kritik ini mereka mengubah kebijakan-kebijakan yang dianggap
kurang tepat pada saat itu. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya
menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat
pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya.
Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun
1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak. Dunia pers semakin
menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar
pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan
merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau
politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers
Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor
Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk
menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang
memelopori kebebasan Pers kaum pribumi
Surat kabar-surat kabar
selanjutnya pun banyak yang terinspirasi dari surat kabar “Medan prijaji” ini.
Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah
judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda
tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata
masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan
Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut
di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan
beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Kini dengan hadirnya
medan prijaji ini, kebebasan mengemukakan pendapat mulai mengalir, dan hal
inilah yang sedari dulu telah ditunggu-tunggu oleh kaum pergerakan. Buktinya
tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian
Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang
namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran
dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia
Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih
Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno
pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia
dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar
Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia. Penerbitan
media massa pergerakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun ada juga yang
mendapatkan izin dari pemerintahan Belanda. Dan ketika isi media acapkali berseberangan
dengan pola fikir pemerintah Belanda sesering itulah pers di breidel.
Untuk menanggulangi hal
itu, maka dibuatlah kebijakan pembelengguan kebebasan menyuarakan pesan
kebebasan negeri yang tertuang dalam undang-undang
a.
Drukpers reglement tahun 1856 tentang
aturan sensor preventif.
b.
Pers ordonantie tahun 1931 tentang
pembredelan surat kabar.
Pada masa ini
tokoh-tokoh pergerakan yang mengopinikan kemerdekan lewat media massa seperti
Soekarno, Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul oleh dua penguasa tertinggi
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu Gubernur Jenderal De Jonge
(1931-1936) dan Gubernur Jenderal Tjarda van Star. De Jonge sendiri menamakan
artikel-artikel tokoh pergerakan (memberi labelling) gezagsvijandige artikelen
atau tulisan-tulisan yang memusuhi pemerintah. Di masa pemerintahan Jepang
kehidupan pers lebih dipersempit, selain UU Belanda UU No 16 yang
pasal-pasalnya sangat menakutkan mengenai izin terbit, pembelengguan kebebasan
pers dengan memasukan tokoh-tokoh pergerakan kedalam penjara, dan membreidel
penerbitannya diberlakukan. Di setiap surat kabar ditempatkan Shidooin
(penasihat) yang tidak jarang menulis artikel dengan mencatat nama anggota
redaksi
B. Sejarah Perkembangan Pers
Nasional
Pers
Indonesia bisa dikatakan dimulai Sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA yang didirikan
oleh Soemanang, A.M. Sipahoentar, Adam Malik
dan Pandu Kartawiguna pada tanggal 13 Desember 1937, sebagai kantor berita
perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai
puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
tanggal 17
Agustus
1945. Namun, sebenarnya
pers sudah ada di Indonesia jauh sebelum itu, yaitu dimulai pada zaman
penjajahan belanda, jepang, sampai pada masa reformasi dan sekarang ini.
1. Pers
pada masa Penjajahan Belanda dan Jepang
a. Zaman
Belanda
Perkembangan
pers pada masa ini dapat ditandai dengan terbitnya surat kabar yang bernama
Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes Pada tanggal 7 Agustus tahun
1744 yang lebih dikenal dengan kependekkannya yaitu Bataviasche Nouvelles, surat kabar inipun hanya terbit selama 1 tahun. Sebenarnya pada tahun 1615 Gubernur Jenderal pertama VOC Jan
Piterszoon Coen telah memerintahkan menerbitkan Memorie der Nouvelles, penerbitan ini tidak dicetak tetapi ditulis
tangan. Memorie der Nouvelles
tidak hanya dibaca orang di Betawi saja tetapi juga merupakan bacaan tetap para
pejabat Belanda di Ambon, terbitan ini bertahan sampai tahun 1644.
Tanggal
5 Januari 1810 Gubernur Jenderal Daendels menerbitkan sebuah surat kabar
mingguan Bataviasche Koloniale Courant
yang memuat tentang peraturan-peraturan tentang penempatan jumlah tenaga untuk
tata buku, juru cetak, kepala pesuruh dan lain-lain, harga langganan juga telah
ditulis di terbitan tersebut. Lalu memasuki tahun 1811, saat itu Hindia Belanda
telah menjadi jajahan Inggris dan Bataviasche
Koloniale Courant tidak terbit lagi. Orang Inggris menerbitkan Java Government Gazette. Surat kabar
ini sudah memuat humor dan terbit antara 29 Februari 1812 sampai 13 Agustus
1814. Hal ini dikarenakan pulau Jawa dan Sumatera harus dikembalikan kepada
Belanda. Belanda kemudian menerbitkan De
Bataviasche Courant dan
kemudian tahun 1828 diganti dengan Javasche
Courant memuat berita-berita resmi, juga berita pelelangan, kutipan dari surat
kabar di Eropa dan juga pernah memuat sajak Multatuli ( Eduard Douwes Dekker )
pada tahun 1845 .
Surat kabar Soerabajaasch Advertentieblad
terbit di Surabaya pada bulan Juli 1835. Kemudian di Semarang pada pertengahan
abad 19 terbit Semarangsche
Advertentieblad dan De
Semarangsche Courant dan kemudian Het Semarangsche Niuews en Advertentieblad . Surat kabar ini
merupakan harian pertama yang mempunyai lampiran bahasa lain misal, Jawa, Cina
dan juga Arab yang ditulis dengan huruf Jawa, Cina dan Arab. Tahun 1862 untuk
pertama kali dibuka jalan kereta api oleh Pemerintah Hindia Belanda maka untuk
menghormati hal tersebut Het
Semarangsche Niuews en Advertentieblad berganti nama menjadi de Locomotief. Surat kabar pada waktu jaman penjajahan ini tidak
banyak memiliki arti politis tetapi hanya merupakan surat kabar periklanan, dan
sedikit berita jumlah oplaag yang dicetak hanya sekitar 1000 – 1200 eksemplar.
Pelopor
surat kabar dengan bahasa jawa akhirnya muncul, adalah Bromartani yang terbit pada tanggal 21 Maret 1855 di Surakarta yang dipimpin oleh Carel Frederick
Winter Junior seorang pecinta dan Juru Bahasa Jawa di Kraton Surakarta jumlah
pelanggan Bromartani mencapai 320 orang. Setelah C.F Winter meninggal tahun
1859 para sahabatnya di Solo menerbitkan surat kabar Djoeroemartani tahun 1865 yang kemudian pada tahun 1870 diubah
namanya menjadi Bromartani untuk mengenang CF Winter. Surat ini terbit sampai
tahun 1932. Berbagai surat kabar berbahasa Melayu yang terbit saat itu hampir
semua diusahakan, dimiliki oleh peranakan Belanda. Tetapi sejak tahun 1880
mulai terbit surat kabar yang dikelola peranakan Cina – Melayu Pemberita Betawi , Bintang Surabaya, Bintang
Betawi. Kemudian diawal tahun 1900-an muncul Li Po (1901), Chabar Perniagaan ( 1903 ), Ik Po ( 1904 ), Sin Po ( 1910
).
Tak
mau kalah dengan orang Belanda dan Cina yang telah menerbitkan surat kabar, maka
bulan Januari 1904 Haji Samanhudi tertarik untuk berjuang bidang penerbitan
bekerjasama dengan Raden Mas Djokomono, kemudian terbitlah Medan Prijaji sebuah surat kabar yang
disebut sebagai tonggak jurnalistik Indonesia. Surat Kabar ini dipimpin oleh
Raden Mas Djokomono yang terkenal dengan nama RM Tirto Adhie Soeryo. Gerakan kebangsaan pada waktu itu telah
memanfaatkan media koran dan majalah untuk mengungkapkan gagasan mereka, pers
nasional mencerminkan kehidupan gerakan kebangsaan dan sekaligus menyebarkan
gagasan idealisme para founding father kita. [1]
Setelah
Medan Prijaji maka terbit pula Darmo
Kondho, Fikiran Ra’jat, Soeloeh Ra’jat Indonesia di luar Jawa
surat kabar yang juga menyebarkan gagasan yang sama misalnya Penghantar ( Ambon), Sinar Borneo ( Banjarmasin ), Persatoean ( Kalimantan ), Pewarta Deli, Matahari ( Medan ), Sinar Sumatera ( Padang )
b.
Zaman Jepang
Saat Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat
kabar yang ada di Indonesia sedikit demi sedikit mulai diambil alih. Beberapa
surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat - alat tenaga. Tujuan
sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi
surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor
berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni
Domei. Hanya dikota besar diperbolehkan ada surat kabar diantaranya Asia Raya (Jakarta), Sinar Baroe (Semarang), Soeara Asia ( Surabaya ) , Kita Sumatera Shimbun (Medan), Atjeh Simbun (Kutaradja)
Pada waktu itu surat kabar Belanda tidak boleh
terbit, wartawannya ditangkap dan dipenjara, jikapun ada wartawan-wartawan
Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi
pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang.
Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah
dan tentara Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang lalu menerbitkan suratkabar
dan sebangsanya untuk kepentingan Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang .
Salah satunya adalah majalah Djawa
Baroe yang berisi tentang propaganda Jepang .[2]
Pada masa penjajahan Jepang di Bandung terbit surat
kabar Tjahaya yang dipimpin S.
Bratanata. Koran ini pada tanggal 18 Agustus 1945 sempat memuat Undang-undang
Dasar RI. Isi dan wajah koran Tjahaya
berubah menunjukan wajah republikein seratus persen. Setelah
Indonesia merdeka dan Jepang kalah perang, Jepang menerbitkan koran yang hendak
menghalangi kelancaran roda pemerintahan Indonesia yaitu Berita Gunseikanbu. Kemudian para
pelajar Kenkoku Gakuin (semacam sekolah pangreh –praja ) menerbitkan
koran Berita Indonesia untuk
menyaingi koran terbitan Jepang tersebut.
2.
Pers pada masa Revolusi
Pers pada masa ini berfungsi sebagai alat untuk
memperjuangkan kemerdekaan, sehingga sering disebut dengan pers perjuangan.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan
kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang
diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Ketika kemerdekaan Indonesia
dikumandangkan surat kabar yang terbit pertama adalah koran Berita Indonesia (6 September) koran ini terbit secara teratur,
kemudian majalah Tentera, dan
disusul surat kabar Merdeka yang
dipimpin oleh BM Diah.
Pemerintah Indonesia juga tak mau ketinggalan menerbitkan Negara Baroe yang dipimpin Parada
Harahap, yang kemudian juga menerbitkan Soeara
Oemoem tetapi hanya sebentar bertahan.
Lalu pada awal Desember 1945 terbit majalah tengah
bulanan Pantja Raya kemudian
disusul majalah dan surat kabar lain diantaranya : Pembangoenan (Sutan Takdir Alisyahbana ), Siasat, Pedoman. Mimbar Indonesia. Di daerah selain Jakarta juga
terbit koran diantaranya : Menara
Merdeka (Ternate), Soeara
Indonesia, Pedoman
(Makasar), Soeara Merdeka
(Bandung), Soeara Rakjat (
Surabaya), Kedaulatan Rakyat, Nasional (Yogyakarta), Soeloeh Rakyat ( Semarang), Pewarta Deli, Suluh Merdeka, Mimbar Umum
( Sumatera Utara ), Sumatera Baru
( Palembang), Pedoman Kita, Demokrasi, Oetosan Soematera ( Padang ), Semangat Merdeka (Aceh). Selain itu Kantor Berita Antara juga telah ikut berperan
mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia
Saat itu wartawan berjuang keras untuk mewujudkan
kemerdekaan di indonesia. Dalam tekanan pemerintah Jepang yang tidak mau
melepaskan Indonesia merdeka dan Belanda yang membonceng Sekutu untuk kembali
menancapkan kekuasaannya maka pers Indonesia pada waktu itu berdiri dibelakang
kaum republikein
menyokong terus menyuarakan kemerdekaan Indonesia sehingga orang menyebut pers republiken. Untuk menandingi
tulisan-tulisan yang termuat pada koran
republiken Belanda membuat koran tandingan diantaranya De Courant (Bandung), De Locomotief (Semarang), Java Bode (Jakarta). Saat Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta terpaksa pindah ke Yogyakarta dan
kemudian Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia para wartawan – pun
juga banyak yang ikut pindah ke Yogyakarta. Ketika ibukota Republik Indonesia
di Yogyakarta itulah tanggal 9 Februari 1946 para wartawan berkumpul di gedung
Sociteit atau Sasono Suko Solo ( sekarang Monumen Pers Nasional ) mendirikan
organisasi profesi Persatuan Wartawan
Indonesia ( PWI ). Ini merupakan organisasi profesi wartawan pertama
setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dengan Ketua Mr. R.M Sumanang
Suryowinoto. Dan empat bulan kemudian tepatnya 8 Juni 1946 berdiri Serikat Perusahaan Surat Kabar (SPS) di
Yogyakarta. Hal ini makin memperkokoh peran pers di awal berdirinya negara
Indonesia.[3]
3.
Pers pada masa Demokrasi Liberal
Pada Desember 1949, dunia internasional mengakui
kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Surat kabar Indonesia Raya sendiri,
pertama kali terbit di Jakarta, dengan nomor pertama yang tiba di tangan
pembaca, berselang dua hari sesudah peristiwa penandatanganan pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda, 27 Desember 1949. Sementara itu, lebih dari
setahun sebelumnya yakni 29 November 1948, di Jakarta juga telah terbit harian
Pedoman yang dibawahi oleh Rosihan Anwar, harian Merdeka yang telah terbit
sejak 1 Oktober 1945 dan Indonesia Merdeka yang terbit sejak 4 Oktober 1945. Era
liberal itu, ditandai dengan peningkatan tiras surat kabar di Indonesia. Tahun
1950, sebanyak 67 harian yang terbit berbahasa Indonesia bertiras sekitar
338.300 eksemplar. Kemudian pada 1957, jumlah harian di Indonesia bertambah
menjadi 96 judul dengan tiras mencapai 888.950 eksemplar. Setahun sebelum
pemilihan umum pertama, 1955, terdapat setidaknya 27 koran yang terbit di
Jakarta. Total tiras seluruh surat kabar tersebut mencapai 320.000 eksemplar,
dengan empat surat kabar besar, yakni harian Rakyat, koran organ PKI yang
mempunyai tiras hingga 55.000 eksemplar, Pedoman yang berorientasi PSI dengan
tiras 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia yang ditengarai oleh organ PNI dengan
tiras 40.000 eksemplar dan harian Abadi yang berorientasi Masyumi dengan tiras
34.000 eksemplar.
Sepanjang masa demokarasi konstitusional hingga pemberlakuan undang-undang darurat perang pada 1957, terdapat setidaknya tujuh kabinet koalisi. Ketika mencapai puncak kekuasaannya, setiap partai yang memerintah tentu memberikan perhatian yang lebih besar kepada organ-organ dan para pengikutnya. [4]
Sepanjang masa demokarasi konstitusional hingga pemberlakuan undang-undang darurat perang pada 1957, terdapat setidaknya tujuh kabinet koalisi. Ketika mencapai puncak kekuasaannya, setiap partai yang memerintah tentu memberikan perhatian yang lebih besar kepada organ-organ dan para pengikutnya. [4]
Seperti, menyediakan kredit pendanaan pers serta
keperluan kantor. Sementara, di lain pihak, surat kabar dari kaum oposisi
berulang kali diberangus. Pada tahun selanjutnya, pers dan wartawan di
Indonesia masih diliputi suasana penuh tantangan akibat dari berlarut-larutnya
revolusi dan masih manifesnya penjajah untuk kembali ke Indonesia. Dapat
dikatakan bahwa setelah kemerdekaan, semangat yang menjiwai perjuangan
kemerdekaan mulai luntur, terjadi persaingan keras antar kekuatan politik. Pers
Indonesia ikut larut dalam arus ini, terjadi perubahan watak dari pers
perjuangan menjadi pers partisipan. Pers sekadar menjadi corong partai politik.
Meskipun pers bersifat partisipan, bisa dikatakan periode ini adalah masa
bahagia yang singkat buat kebebasan pers, khususnya untuk wartawan politik.
Inilah akhir periode kebebasan pers di Indonesia dan awal rezim Orde lama
berkuasa.
4.
Pers pada masa Demokrasi Terpimpin
Perkembangan pers pada masa ini terjadi akibat
pergolakan dalam dunia politik yang terus terjadi. Pada 28 Oktober 1956,
Soekarno mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi
terpimpin, lalu pada Februari 1957, Soekarno kembali mengemukakan konsep
demokrasi Terpimpin yang diinginkannya, hampir berselang dengan terjadinya
berbagai pemberontakan di banyak daerah di Indonesia yang melihat sentralitas
atas hanya daerah dan penduduk Jawa. Munculnya berbagai pemberontakan di daerah
dan di pusat sendiri, membuat Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat
Perang pada 14 Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia terkungkung dalam
perseturuan antara parlemen melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan
militer. Namun, tak berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke
Undang-Undang Dasar 45, disusul dengan pelarangan Partai Sosialis Indonesia dan
Masyumi, karena keterlibatan kedua partai tersebut dalam pemberontakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 di
Sumatera.
Kegagalan Soekarno, menyebabkan ia segera berpaling
kepada PKI dan menstimulasi pihak militer agar memberi dukungan penuh pada
dirinya. Sebaliknya, PKI bergantung kepada Soekarno untuk dapat memimpin
bangsa. Berbagai slogan politik mulai bermuculan, seperti Manipol (Manifesto
Politik), Berdikari (Berdiri Di Atas Kaki Sendiri), Nefos (New Emerging Forces)
dan Oldefos (Old Establishment Forces), ditambah dengan upaya dilplomasi serta
manuver konfrontasi dengan Malaysia. Soekarno menstimulasi rakyat dengan
semangat revolusi, dengan dirinya sebagai tokoh pemimpin revolusi. Sepanjang
periode Demokrasi Terpimpin dan diberlakukannya Undang-Undang Darurat Perang,
pers pun mengalami era terpimpin ini. Presiden Soekarno memerintahkan pers agar
setia kepada ideologi Nasakom serta memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat.
Soekarno tidak ragu-ragu untuk melarang surat kabar yang menentangnya. Di bawah
Soekarno, surat kabar yang dikelola oleh kaum komunis tumbuh subur. Muncul
perlawanan dari kelompok surat kabar sayap kanan nasionalis, yang
mengatasnamakan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Konflik antara surat kabar
sayap kanan dengan surat kabar kelompok kiri tidak terelakkan. Soekarno
ternyata lebih memilih kaum kiri, dan surat kabar kaum kanan yang anti komunis
dilarang terbit.
Periode Demokrasi Terpimpin umumnya dikatakan
sebagai periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini
bisa dimaklumi karena persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers
Indonesia telah melampaui batas-batas toleransi. Penguasa Demokrasi Terpimpin
memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan
opini publik. Pers seakan-akan dilihat sebuah senapan yang siap menembakkan
peluru (informasi) ke arah massa atau khalayak yang tak berdaya. Pers dianggap
sebagai alat “revolusi” yang besar pengaruhnya untuk menggerakkan atau meradikalisasi
massa untuk menyelesaikan sebuah revolusi. Pandangan ini dapat dilihat pada
bagian pendahuluan dari pedoman penguasa Perang Tertinggi, 12 Oktober 1960
untuk pers Indonesia yang berbunyi : “Sebagaimana kita semua telah memaklumi,
surat kabar dan majalah merupakan alat publikasi yang dapat dipergunakan untuk
mempengaruhi pendapat umum. Oleh karena itu, maka surat kabar dan majalah
tersebut dapat dipergunakan sebagai alat penggerak massa untuk menyelesaikan
revolusi Indonesia menuju masyarakat yang adil dan yang makmur.” Oleh karena
itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai seluruh pers, yang dalam
praktik bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
masyarakat tetapi untuk revolusi kekuasaan rezim itu sendiri. Atas dasar itulah
penguasa melakukan rekayasa terhadap pers melalui system regulasi yang
represif. Misalnya penguasa mengeluarkan Sebuah Pedoman Penguasa Perang
Tertinggi untuk Pers Indonesia pada 12 Oktober 1960.
Tujuan utama dari pedoman ini adalah mewajibkan pers
menjadi pendukung, pembela, alat penyebar manifesto politik Soekarno serta
mewajibkan pers untuk memiliki izin terbit. Hal ini dilakukan oleh penguasa
untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan
majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi. Setiap penerbit
pers yang akan mengajukan surat izin terbit diharuskan mengisi sebuah formulir
berisi 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab penerbit
surat kabar dan majalah seandainya ia sudah diberi izin terbit. Jika diteliti
pasal per pasal memperlihatkan usaha penguasa untuk benar-benar “menjinakkan”
pers di dalam cengkeraman kekuasaannya. Bagi penerbit yang tidak bersedia
menandatangani perjanjian 19 pasal ini, otomatis tidak diperkenankan melanjutkan
penerbitannya. Para penanggung jawab surat kabar dan majalah yang masih ingin
mempertahankan nurani serta idealismenya, kebanyakan tidak bersedia
menandatanganinya dan lebih suka menutup sendiri penerbitannya.
Ternyata dengan menggunakan cara retooling ini, sangat
efektif untuk menjinakkan atau memakai istilah Mochtar Lubis (1978), mengebiri
pers. Akhirnya pers yang tersisa atau masih terbit adalah pers yang sudah jinak
dan mandul yang kesetiaannya tidak diragukan lagi. Mengutip cerita Alfian
(1991) : “Bung Karno yang praktis mendominasi kehidupan politik pada waktu itu
boleh dikatakan juga mendominir komunikasi politik. Sebagai komunikator yang
luar biasa, pidato-pidatonya yang sering panjang mempesona yang
mendengarkannya. Media cetak boleh dikata menuruti apa saja yang diucapkannya.
Pada umunya ulasan atau tajuk rencana memberikan dukungan dan bahkan sering
mengagung-agungkannya. Bung Karno memang termasuk tokoh yang suka dikritik, dan
semakin besar kekuasaannya semakin sensitive pula dia terhadap kritik.
Mengetahui itu pers semakin takut kepadanya, dan bersamaan dengan itu isi media
massa makin memuja dan menyanjungnya. Proses pengkultusan individunya meningkat
pula.”
Prinsip-prinsip
demokrasi yang hendak ditegakkan oleh pemerintah,
yaitu sebagai berikut :
1. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi atau
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
2. Demokrasi terpimpin
bukanlah diktatur, tetapi demokrasi yang berbeda dengan demokrasi
liberal.
3. Demokrasi terpimpin adalah
demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi
bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial.
4.
Demokrasi
terpimpin adalah alat, bukan tujuan.
Demokrasi terpimpin mengenal
juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi
dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan negara, kepribadian bangsa, kepentingan rakyat banyak, dan batas
pertanggungjawaban kepada Tuhan.[5]
5.
Masa Orde Baru
Masa ini dimulai dengan berakhirnya peristiwa G 30
S/PKI, berakhir pula masa pemerintahan Orde
Lama. Kemudian bangsa Indonesia memasuki alam Orde Baru. Pada awal masa Orde
Baru ini fungsi dan sistem pers masih belum berjalan dengan baik. Ketika
itu surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan
terompet masyarakat untuk menentang kebijaksanaan Orde Lama clan
menyokong aksi-aksi mahasiswa/pemuda sehingga surat kabar-surat kabar yang
terbit merupakan parlemen masyarakat. Gejala-gejala pers liberal kembali melekat,
apalagi ketika menjelang Pemilu 1971, sinisme dan kritik yang sifatnya tidak
membangun kembali memenuhi lembaran-lembaran
surat kabar kita. Timbulnya gejala-gejala yang tidak menguntungkan tersebut, antara lain disebabkan tidak adanya
pembinaan yang tegas, baik dari instansi-instansi resmi maupun
badan-badan atau organisasi-organisasi yang
berkepentingan tentang adanya pers nasional yang sehat, pers nasional
yang dapat melaksanakan fungsi-fungsinya, baik yang bersifat universal maupun
sebagai alat perjuangan bangsa.
Akan tetapi, ketika masa Orde Baru ditandai dengan
kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami
perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari
kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Oleh karenanya, pada masa ini
pers merupakan salah satu unsur penggerak pembangunan. Kita tentu menyadari
bahwa pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat.
Namun demikian, kita juga menyadari
bahwa perubahan sebagai akibat dari pembangunan tidak akan terjadi jika
rakyat tidak mengetahui dan dapat menerima motivasi, metode, dan hasil-hasil yang akan dibawa oleh pembangunan itu. Untuk inilah
diperlukan penerangan yang lugs kepada rakyat tentang maksud Berta tujuan pembangunan. Pers sebagai sarana
penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses
pembangunan.
Seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat
pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti
kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi
rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian
dilatarbelakangi adanya keinginan sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan segala daya dan upaya, para
elit berusaha membendung berbagai
pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikan diri atau kroni-kroninya. Kehidupan pemerintahan
diliputi dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde Baru
pun akhirnya tumbang oleh kekuatan rakyat
yang dimotori oleh para mahasiswa. Salah satu tuntutan mahasiswa-rakyat
Wall adanya kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan
lisan dan tulisan, yang berarti adanya jaminan kebebasan pers.[6]
6.
Masa Reformasi
Tahun 1998 merupakan saksi penting bagi perjalanan
sejarah bangsa Indonesia, yaitu munculnya reformasi dengan turunnya Soeharto
sebagai presiden RI. Runtuhnya Orde Baru membuka era demokrasi dan kebebasan
pers yang sebelumnya tidak pernah mampu dinikmati bangsa Indonesia. Salah satu
jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan
Presiden Habibie mempunyai andil
besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan
pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai
dengan lahirnya UU No. 40
tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh
menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak
perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil
maupun militer. Dengan UU Pers diharapkan
media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar
demokrasi.
Walaupun saat itu ongkos produksi sangat
besar dan pesaing yang banyak, tetap tidak mengurangi perkembangan media massa di Indonesia. Akan tetapi, kondisi yang sama juga telah melahirkan jenis-jenis pers
yang aneh. Banyak pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah memberitakan
apa saja, kecuali yang benar. Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang
tidak bebas dan bertanggung jawab; pers Orde Habibie adalah pers yang
bebas dan tidak bertanggung jawab. Diwarnai oleh suasana politik yang tidak menentu, hampir
Semua surat kabar memusatkan perhatiannya pada berita politik. Karena situasi
politik sebenarnya cenderung tidak banyak
berubah, pers menjadi sangat aktif untuk membuat berita politik dengan
mengakses sumber-sumber berita yang tidak lazim, sekaligus tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Pers kita sekarang sedang menikmati era keamasan
kebebasannya. Bila kita kecewa dengan kinerjanya, kita tidak punya hak untuk
mencabut kebebasan itu. Semua orang sepakat walaupun sebagian hanya dalam kata-kata bahwa reformasi harus dilanjutkan. Salah satu
institusi yang sangat berperan dalam proses reformasi ini adalah pers. Sekaranglah saatnya pers Indonesia menemukan jati
dirinya, dengan merumuskan perannya
secara jelas. Siapakah yang paling bertanggung jawab di sini? Jelas sekali, bukan pemerintah, bukan
Dewan Pers, apalagi TNI; tetapi insan pers sendiri, khususnya para
pemimpin dan penentu kebijakan surat kabar. Dalam hubungannya dengan pemerintah,
para pakar komunikasi bercerita
tentang tiga modus peran pers. Pers dapat menjadi watch-dog, yang segera menggonggong ketika
terjadi penyimpangan pada perilaku rezim.
Semua kebijakan pemerintah menjadi target serangan pers. Peran watch-dog ini sudah lama kita tepiskan sebagai peran yang tidak sesuai dengan
pers Pancasila.
Secara ideal, kita sudah memilih peran
pers sebagai mitra (partner) pemerintah.
Pers berdampingan dengan pemerintah mengemban misi mulia memberikan
penerangan dan pendidikan (membangun masyarakat). Lalu, lahirlah pers
pembangunan. Secara praktis, pers kita selama Orde Baru mengambil posisi
sebagai budak pemerintah (slave). Kemitraan hanya tumbuh di antara yang
setingkat, yang sama (equal). Dalam
hubungan yang supra dan subordinasi, pers hanya menjadi kuda tunggangan
pemerintah. Pers Indonesia sekarang
harus menggeser paradigms lama dan harus menjadi lembaga independen, yang memihak pads
kebenaran. Pers Indonesia boleh
jadi sekali waktu bekerja untuk menyukseskan program pemerintah atau menyorot kebijakan pemerintah dengan kritis atau
sekadar mendampingi pemerintah. Ini berarti pers harus membantu proses
demokratisasi. Demokrasi merupakan sebuah sistem yang berusaha memenuhi
keinginan seluruh rakyat. Karena
tidak ada satu pun yang dapat memenuhi keinginan seluruh rakyat, maka
paling tidak kits harus memperhatikan keinginan rakyat yang terbanyak.
Namun, setelah
berjalan kurang lebih lima tahun, yang terjadi bukan pers yang sehat, tetapi anarki di bidang media massa. Pers Indonesia belum mampu
menjadi pilar demokrasi dan mendukung reformasi, tetapi malah menjadi salah satu
penyebab berbagai macam keresahan sosial. Mengapa demikian? Masalahnya
sangat sederhana. Dengan kebebasan pers yang hampir tanpa batas, tetapi tidak
diiringi profesionalitas yang tinggi
di kalangan pekerja pers, maka yang terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan
kalangan pers dalam menjalankan tugasnya. Opini yang berkembang adalah pers gosip, pornografi,
clan berita-berita yang tidak bertanggung
jawab.
Karena itu, dalam pandangan
sebagian anggota DPR, ada wacana tentang perlunya merombak UU No. 40
tahun 1999 dengan perlunya memasukkan
kembali prinsip perijinan dan mekanisme pengawasan dalam penerbitan pers. Dalam era
reformasi ini, bukan pemerintah lagi yang berperan sebagai regulator,
tetapi lembaga yang dibentuk kalangan pers
sendiri. Pers harus bebas, tetapi kebebasannya harus bermanfaat untuk masyarakat.
Wacana perlunya regulator bagi penerbitan media massa mungkin
bukan suatu solusi terbaik bagi kalangan media di Indonesia. Namun
demikian, jika ingin menyelamatkan demokrasi dan reformasi, maka pers harus menata dirinya sendiri dan
mengatur diri tanpa adanya campur Langan
(intervensi) dari penguasa.[7]
C. Karakteristik
Pers
Pers berkembang mengikuti perkembangan dunia, baik
dari segi ekonomi, politik, budaya dan tekhnologi, hal tersebut membuat pers
dibedakan dalam hal sifat dan karakteristik, sebagai berikut :
a.
Liberal Democration Pers (Pers Demokrasi Liberal)
Pers dipersiapkan sebagai kebebasan yang tanpa
batas, artinya kritik dan komentar pers dapat dilakukan kepada siapa saja,
termasuk kepada kepala negara sekalipun.
b.
Communist Pers (Pers Komunis)
Terbentuknya karena latar belakang pemerintahan
negaranya yang menitik beratkan pada kekuasaan tunggal partai komunis. Dengan
demikian, maka suara pers harus seiring sejalan dengan suara partai yang sedang
berkuasa. Wartawannya adalah orang-orang yang menganut ideologi komunis atau
marxisme. Contoh: Rusia, China, Kuba, dan Korea Utara.
c.
Authoritarian (Pers Otoriter)
Terlahir dari Negara penganut politik fasis
(pemerintah berkuasa mutlak). Pers dilarang melakukan kritik dan kontrol kepada
pemerintah. Pers hanya merupakan alat pendukung kepentingan penguasa. Contoh:
Pers di Jerrnan pada masa Adolf Hitler, pers di Italia pada masa Musolini.
d.
Freedom and Responsibility (Pers Bebas dan Bertanggung Jawab)
Istilah ini awalnya merupakan slogan dari
Negara-negara barat, yang menginginkan kebebasan pers harus
dipertanggungjawabkan kepada kehidupan bermasyarakat kebebasan pers di setiap
negara akan berbeda, tergantung pada bobot yang dianut oleh masing-masing
negara.
e.
Development Pers (pers Pembangunan)
Terdapat pada negara-negara yang sedang berkembang
(developing countries). Masing-masing Negara memiliki arah dan tujuan yang
berbeda. Batasan untuk menyamaratakan pandangan terhadap pers pembanguna
menurut Wilbur Schramm :
1.
Pers harus dapat menciptakan iklim pembangunan
di negaranya.
2.
Pers harus mampu mengarahkan perhatian
masyarakat dari kebiasaan lama menjadi perilaku yang lebih maju.
3.
Pers harus mampu memperluas pandangan
bagi masyarakat.
4.
Pers harus dapat menumbuhkan dan
meningkatkan aspirasi serta mendorong masyarakat agar memiliki pola pikir ke
arah kehidupan yang lebih baik.
5.
Pers harus dapat memperlebar prose
pertukaran pikiran atau diskusi dan kebijakan (policy).
6.
Pers harus dapat menetapkan norma
sosial.
7.
Pers harus mampu membantu secara
subtansial dari semua jenis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Contoh: Indonesia, negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
f. Five Foundation
(Pers Pancasila)
Dilahirkan oleh bangsa Indonesia karena falsafah
Negara adalah pancasila. Sifat pers pancasila merupakan pers yang melihat
segala sesuatu secara proporsional. Pers pancasila mencari keseimbangan dalam
berita atau tulisannya untuk kepentingan serta kemaslahatan semua pihak sesuai
dengan konsensus demokrasi pancasila. Negara yang menganut pers pancasila yaitu
Indonesia.
D. Tokoh-Tokoh Pers
Burhanuddin
Mohammad Diah (lahir di Kutaraja,
yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7 April
1917 – meninggal
di Jakarta,
10 Juni
1996 pada umur 79 tahun)
adalah seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat,
dan pengusaha Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi
duta besar untuk Cekoslowakia dan Hongaria.
Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris,
lalu ke Thailand
- semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh
Presiden Soeharto
menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi anggota DPR dan kemudian anggota DPA. Pada usia tuanya, Diah
mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat yang dulunya
merupakan rumah orangtua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah
sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel
Prapatan-Jakarta.
Adinegoro
(lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera
Barat, 14 Agustus 1904 – meninggal
di Jakarta, 8 Januari
1967 pada umur 62 tahun)
adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah
memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan
geopolitik di Jerman
dan Belanda
(1926-1930). Nama aslinya
sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin
gelar Datuk Maradjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad
Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro
bernama Usman gelar Baginda Chatib
dan ibunya bernama Sadarijah,
sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri
bernama Alidas yang berasal dari Sulit Air, X Koto Diatas, Solok,
Sumatera Barat. Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada
tahun 1928),
yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya,
adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi
dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa
Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno
yang berlaku dalam perkawinan.
Dalam
kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan
juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu
yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul "Kritik atas Kritik" terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Pada tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat atlas pertama berbahasa Indonesia. Atlas tersebut dibuat dari Amsterdam, Belanda bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada tahun 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka. Pada tahun yang sama setelah atlas itu muncul, mereka juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk sekolah lanjutan.[1]
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul "Kritik atas Kritik" terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Pada tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat atlas pertama berbahasa Indonesia. Atlas tersebut dibuat dari Amsterdam, Belanda bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada tahun 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka. Pada tahun yang sama setelah atlas itu muncul, mereka juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk sekolah lanjutan.[1]
Dja
Endar Moeda adalah perintis pers berbahasa Melayu
kelahiran Padang Sidempuan, 1861. Dididik sebagai guru
di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai
sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887. Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja
Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang.
Di sana selain mendirikan sekolah swasta dia menjadi redaktur Pertja Barat,
yang didirikan oleh Lie Bian Goan. Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja
Barat.
Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh. Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911 setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh. Djawoto (lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur, meninggal dunia 24 Desember 1992 di Amsterdam) berasal dari keluarga pangreh praja.
Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh. Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911 setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh. Djawoto (lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur, meninggal dunia 24 Desember 1992 di Amsterdam) berasal dari keluarga pangreh praja.
Djawoto
adalah seorang otodidak. Ia menguasai bahasa
Belanda, Inggris dan ia menekuni ilmu ekonomi dan
politik. Djawoto juga belajar sendiri untuk menjadi wartawan dengan membaca
setiap hari. Bukunya "Jurnalistik dalam Praktek" adalah hasil pengalaman
pekerjaannya sehari-hari. Sejak tahun 1928 Djawoto sudah mulai
menulis sebagai wartawan sampai kedatangan tentara pendudukan Jepang. Selama Perang Dunia
II Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik
di Kantor Berita "Domei", satu-satunya kantor berita yang diizinkan hidup
selama pendudukan Jepang. Pada tahun 1945 Kantor Berita "Antara"
dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika
Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke
Yogyakarta dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.
Panda
Nababan (lahir di Siborong-borong,
Tapanuli
Utara, Sumatera Utara, 13 Februari
1944; umur 66 tahun)
adalah seorang wartawan
Indonesia dan politikus
dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P). Kedua orangtuanya, yaitu Jonathan Laba Nababan dan Erna Intan Dora Lumbantobing,
bekerja sebagai guru.
Nababan pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Umum Warta Harian (1969-1970), Redaktur Harian
Umum Sinar Harapan,
(1970-1987), Wakil Pemimpin Umum
Harian Umum Prioritas (1987-1988) dan Kepala Litbang Media
Indonesia (1988-1989). Salah satu puncak
prestasinya sebagai wartawan ialah ketika ia memperoleh penghargaan jurnalistik
Hadiah Adinegoro pada 1976.
Raden
Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) adalah seorang tokoh
pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran
dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S.. Tirto menerbitkan surat kabar Soenda
Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia
(1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji
dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa
Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan
dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Tirto adalah orang pertama yang
menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum.
Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial
Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau
Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera
(Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke
Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus
1918. Kisah perjuangan dan
kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi
Buru dan Sang Pemula. Pada 1973, pemerintah
mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada
tanggal 3 November
2006, Tirto mendapat gelar
sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
E. Media Pers
Dalam melaksanakan kegiatan pers, tentu diperlukan media-media pendukungnya untuk memudahkan proses pencarian berita, serta agar berita bisa sampai ke tangan pembaca. Mengikuti perkembangan pers saat ini media pers dibedakan menjadi ,edia tradisional dan media modern.
a. Media massa tradisional
Media massa tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki
organisasi yang jelas sebagai media massa. Secara tradisional media massa
digolongkan sebagai berikut: surat kabar, majalah,
radio,
televisi,
film (layar lebar). Dalam
jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1.
Informasi dari lingkungan diseleksi,
diterjemahkan dan didistribusikan
2.
Media massa menjadi perantara dan
mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
3.
Penerima pesan tidak pasif dan merupakan
bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
4.
Interaksi antara sumber berita dan
penerima sedikit.
b. Media massa modern
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi dan sosial
budaya, telah berkembang media-media lain yang kemudian dikelompokkan ke dalam
media massa seperti internet dan telepon
selular. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1.
Sumber dapat mentransmisikan pesannya
kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya)
2.
Isi pesan tidak hanya disediakan oleh
lembaga atau organisasi namun juga oleh individual
3.
Tidak ada perantara, interaksi terjadi
pada individu
4.
Komunikasi mengalir (berlangsung) ke
dalam
5.
Penerima yang menentukan waktu interaksi
F.
Dinamika Pers
Pers di Indonesia sebenarnya tidak pernah sangat
independen. Sejak zaman penjajahan, pers selalu dikendalikan
oleh pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuannya. Di zaman Orde Lama, pers menjadi terompet partai. Pers
berada di bawah partai. Organ partai. Namun demikian pers bebas bicara, bahkan
sebebas-bebasnya. Memasuki zaman Orde Baru terjadi perubahan. Sejajar dengan proses
depolitisasi, pers pun satu demi satu lepas dari partai. Pemerintah Orde Baru
berusaha membangun partnership (kemitraan) dengan kekuatan-kekuatan yang ada
dalam masyarakat. Mengembangkan bentuk hubungan bapak-anak. Termasuk dengan
pers. Kemitraaan
dilandasi saling pengertian, tapi dalam praktiknya, pers yang harus banyak
mengerti pemerintah. Pemerintah meminta pers mengerti posisinya. Pers diminta
tidak gampang melancarkan kecaman kepada pemerintah, apalagi memojokkannya.
Sehingga terjadi apa yang kemudian disebut self-censorship (swasensor). Dalam
konteks kemitraan itu, seolah-oleh swasensor menjadi sesuatu yang biasa-biasa
saja. Bukan hal yang menyimpang dan perlu dipermasalahkan.
Di
bawah rezim Orde Baru Soeharto, yang tertutup terhadap kritik dan tidak toleran
terhadap perbedaan pandangan, muncul Deppen, atau departemen penerangan, yang
mempunyai kewenangan besar dalam regulasi pers, begitu hebatnya tekanan itu,
sehingga para Pemimpin Redaksi dari tujuh media massa –Kompas, The Indonesia Times, Pelita, Sinar Harapan, Merdeka, Sinar Pagi,
dan Pos Sore—pada 26 Januari 1978
secara bersama-sama pernah mengirim “surat minta maaf” kepada Presiden
Soeharto, sesudah medianya dilarang terbit oleh Kopkamtib. Dalam surat yang
isinya meminta agar dibolehkan terbit lagi itu, juga tertera persetujuan dari
Ketua Pelaksana Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Harmoko, dan Ketua
Umum Serikat Penerbit Suratkabar Pusat, Djamal Ali. Permintaan maaf semacam itu
juga dilakukan Majalah Tempo pada 1
Mei 1982. Praktis pers Indonesia sudah membelenggu kebebasannya sendiri dan
menyatakan tunduk pada rezim Soeharto.
Pada
tahun-tahun awal Orde Baru, suasana politik baru semula diharapkan akan
mengangkat kembali martabat dan kebebasan pers Indonesia. Namun rezim Soeharto
ternyata setali tiga uang dengan rezim Soekarno dalam sikapnya terhadap pers.
Contoh hidup perlakuan ini mungkin bisa dilihat pada figur Mochtar Lubis,
mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974), yang pernah masuk penjara
di rezim Soekarno dan rezim Soeharto karena kegigihannya memperjuangkan
kebebasan pers.
Lalu
pers di era reformasi diawali dengan langkah dadakan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), dengan menghapus keberadaan Departemen Penerangan dalam jajaran
Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpinnya, pada Oktober 1999, seolah-olah
menjadi klimaks mengejutkan dalam proses keterbukaan dan demokratisasi
kehidupan pers di Indonesia. Bagi kalangan media cetak Indonesia, dengan lenyapnya
Departemen Penerangan, kini tidak ada lagi lembaga “momok” bagi kebebasan pers,
yang biasa mengintimidasi dengan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP). Pada periode berikutnya di bawah pemerintahan Presiden Bacharudin
Jusuf Habibie, pers Indonesia lebih mengenyam kebebasan, bahkan ada yang
mengatakan pers Indonesia bersama pers Filipina menjadi pers yang paling bebas
di Asia Tenggara. Kebebasan ini sebagian besar disebabkan lemahnya legitimasi
dan kredibilitas pemerintah Habibie sesudah berhentinya Soeharto.
Ithiel
de Sola Pool, ketika menuliskan peranan komunikasi dalam pembangunan,
menyatakan: “Media massa melengkapi masyarakat dengan keterangan-keterangan
dasar. Tetapi masyarakat tidak akan bertindak sesuai dengan
keterangan-keterangan baru itu apabila mereka tidak dianjur-anjurkan oleh
orang-orang yang ada di sekitar mereka yang mereka kenal dan hargai.” Dalam
kasus gerakan reformasi 1998, pers menangkap arus desakan yang amat kuat ke
arah perubahan di dalam masyarakat Indonesia, dan baru kemudian sesudahnya pers
ikut terjun serta memberi kontribusi dalam arus besar tersebut. Dalam hal ini,
tekanan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan menghantam kepentingan
ekonomi kalangan industri pers ikut andil dalam memojokkan institusi-institusi
pers untuk bersikap tegas dan memilih mendukung arus reformasi demi
kepentingannya sendiri. Dalam hal ini, pers berperan sebagai katalisator yang
mempertahankan dan mempercepat momentum gerakan reformasi.
Lalu,
bagaimana dengan pers pada saat ini. Pers pada saat ini bak berada di ketiak
konglomerat/pengusaha. Yang menarik perkembangan terakhir ini adalah fenomena
beralihnya perusahaan pers dari orang-orang pers ke orang-orang non-pers. Kalau
sudah begini, pemberitaannya pun jauh dari nilai-nilai jurnalistik dan lebih
mementingkan seks, kekerasan, mistik dan kesenangan semu.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Melihat kembali
sejarah pers masa lalu, dapat kita simpulkan bahwa pers pada masa penjajahan
baik Jepang maupun Belanda, masih sedikit dan diawasi dengan ketat oleh pihak
penjajah itu sendiri. Pers pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin
(orde lama) mulai menikmati kebebasan pers yang lebih luas namun pers pada masa
orde lama lebih cenderung digunakan sebagai sarana untuk menyiarkan kebijakan
pemerintah maupun partai oposisi. Pers pada masa orde baru mirip pada
masa orde lama, dan banyak terjadi pembredelan media cetak yang tidak sesuai
dengan ‘selera’ presiden pada masa reformasi kegiatan jurnalisme telah
dilindungi Undang-Undang Penyiaran dan Kode etik pers, selain itu pers juga
menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan pemberitaan karena tidak ada lagi
ancaman pembredelan seperti dulu. Sejarah pers Indonesia tidaklah sepanjang
sejarah pers bangsa—bangsa yang lebih dahulu memerdekakan dirinya. Jika kita
merunut titik pangkalnya, awal pers di Indonesia memainkan peranan dalam
memberikan pencerahan pada masyarakat bermula pada masa, ketika Belanda
menjajah Indonesia. Dalam masa-masa penjajahan, kemunculan pers pribumi
ditujukan untuk memotivasi, menyentil memberikan pendidikan politik dan
membakar perasaan rakyat agar mau berjuang melepaskan diri dari penjajahan.
Agar lekas memperoleh kemerdekaan.
- Saran
Dengan mempelajari
mengenai sejarah system pers di Indonesia, diharapkan kedepannya akan tercipta
pers yang ideal demi tegaknya
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokrasi.
Pers bebas yang difungsikan oleh
jurnalis-jurnalis profesional, Profesionalisme yang menjadi esensi jurnalis dalam
institusi pers bebas yang berfungsi menjaga dihormatinya hak setiap warga
masyarakat–siapa pun tanpa kecuali–untuk tidak dimobilisasi melainkan
berpartisipasi di dalam setiap proses politik.
Pers bebas yang tidak ada di bawah kontrol siapa pun,
kecuali di kontrol oleh jurnalis profesional yang berkeahlian dan
berintelektual tinggi–sebagaimana layaknya insan-insan profesional yang
lain–dan yang melaksanakan tugasnya tidak akan dikontrol oleh siapa pun,
kecuali kode etiknya itu sendiri, di bawah pemilik organisasinya sendiri yang
independen.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail,
Taufiq Moeljanto. 1995. Prahara Budaya. Jakarta : Mizan
Notodidjojo,
Soebagijo. 1998. PWI di Arena Masa. Jakarta : Balai Pustaka
Suadi,
Haryadi. 2006. ”Medan Prijaji” Koran Politik Pribumi. Jakarta : Pikiran
Rakyat
H. Soebagijo IN . Sejarah Pers Indonesia. Dewan Pers
. 1977
Samsudjin Probohardono. Sejarah Pers dan Wartawan Surakarta
. 1985
Persatuan Wartawan Indonesia . Buku Direktori Pers dan Masyarakat Komunikasi
Indonesia 2006 .
Iis
Suryani. “Makalah Perkembangan Pers di Indonesia”. 2012
Zaldy Munir.
Dinamika Pers di Indonesia dalam Tantangan Globalisasi. 2009
Satrio
Arismunandar. Dinamika Pers Indonesia Era Reformasi. 2006
www.
Sejarah Pers.com
www.
Wikipedia.com
www.dharmabangsa.ac.id
[1]
-Ciri-Ciri pers pada masa belanda : Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Persbreidel Ordonantie, Haatzai Artikelen, Kontrol yang
Keras Terhadap Pers
- Pers mahasiswa pun lahir di masa ini, sebagai alat untuk
menyebarkan ide-ide perubahan kesadaran rakyat akan pentingnya arti sebuah
kemerdekaan. Dalam era ini bermunculan Hindia Putra (1908), Jong Java (1914),
Oesaha pemoeda (1923) dan Soeara Indonesia Moeda (1938) yang secara gigih dan
konsekuen atas keberpihakannya yang jelas pada perjuangan kemerdekaan.
[2]
Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang : Penekanan
Terhadap Pers Indonesia, Bersifat
fasis memanfaatkan instrumen untuk
menegakan kekusaan pemerintahannya
Pers mahasiswa dalam era ini, tidak terlalu banyak
tercatat kemajuan berarti karena masa ini para mahasiswa dan pemuda sibuk dalam
perjuangan politik untuk kemerdekaan Indonesia.
[3]
Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi: Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik, Pers
Harus Menjaga Kepentingan Publik, Pembatasan Pers
Pada jaman ini sedikit banyak Pers Mahasiswa mengalami
suatu kemajuan artinya peluang untuk membentuk lermbaga-lembaga Pers Mahasiswa
semakin terbuka lebar terutama buat para Mahasiswa dan Pemuda.
[4]
Ciri-Ciri per Masa Demokrasi Liberal: Memberi
Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak, Pembatasan
Terhadap Pers, Adanya Tindakan Antipers
Dari tahun 1945-1948, belum banyak Pers Mahasiswa yang
lahir secara terbuka, setelah Tahun 1950 barulah Pers Mahasiswa mengalami salah satu puncaknya di era ini.
[5]
Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin: Tidak Adanya Kebebasan Pers, Adanya
Ketegasan Terhadap Pers, Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers
Banyak Lembaga Pers mahasiswa yang mengalami kemunduran
dan kematian, akibat pukulan politik ekonomi ataupun dinamika kebangsaan yang
berkembang saat itu,
[6]
Ciri-Ciri Pers Masa Orde Baru: Kebebasan
Terhadap Pers, Pers Masa itu Sangat Buram, Berkembangnya Dunia Pers
Setelah peristiwa G.30.S/PKI IPMI sebagai Lembaga Pers
Mahasiswa Indonesia terlibat penuh dalam usaha pelenyapan Demokrasi Terpimpin
dan akhirnya melahirkan Aliansi Segitiga (Aktivis Pers Mahasiswa, Militer dan
Teknokrat) untuk menghancurkan kondisi yang membelenggu bangsa dalam
Outhoritarian. Pada awal era ini, Pers Mahasiswa kembali ke lembaganya yakni
IPMI. Lembaga Pers Mahasiswa se Indonesia ini beorientasi jelas memaparkan
kejelekan Demokrasi Terpimpin melibatkan diri dalam kegiatan politik dengan
menjadi Biro Penerangan dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Di era
ini tebit harian KAMI yang terkemuka yaitu Mahasiswa Indonesia (Jabar), Mimbar
Demokrasi (Bandung) dan keduanya adalah penebitan resmi IPMI.
[7]
Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi: Kebebasan Mengeluarkan Pendapat (Pers adalah Hak Asasi Manusia), Wartawan
Mempunyai Hak Tolak, Penerbit Wajib Memiliki SIUPP, Perusahaan Pers Tidak Lagi
Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk Mendapat SIUPP
Munculnya Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI)
pada dekade 90-an di tahun 1992-1993, munculnya kelompok studi dan forum -forum
diskusi mahasiswa ataupun lembaga swadaya kemasyarakatan (LSM) baik yang
didirikan oleh para aktivis mahasiswa ataupun pemuda yang prihatin terhadap
kondisi lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar