Minggu, 27 Oktober 2013

sejarah sistem pers indonesia



Sejarah Sistem Pers Indonesia




Disusun oleh :
                           Nama  : Peter Parker
                           NIM     : d1212…



Program Studi : S1 KOMUNIKASI
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Hogwarts University
2013

 

                                                                  BAB I
                                                        PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi sangat pesat. Pers pun ikut berkembang dan menyesuaikan perkembangan politik, ekonomi, social, budaya dan tekhnologi yang ada saat ini. Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut sebelum adanya penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Namun kini kita bisa mendapatkan informasi dimanapun dan kapanpun dengan mudahnya. Di Indonesia sendiri, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali dengan kedatangan bangsa belanda untuk menjajah negeri kita. Dulu, pers digunakan oleh para pejuang kita sebagai alat untuk mencapai kemerdekaan dan di era-era inilah cikal bakal atau pelopor surat kabar pertama di Indonesia bermunculan, diantaranya adalah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Sampai pada masa penjajahan jepang, dimana pers diambli alih oleh pemerintah jepang dengan tujuan sebagai alat propaganda pemerintah jepang. Dimasa orde lama dan orde baru, pers pun masih tunduk dibawah kekuasaan orang-orang atau lembaga-lembaga tertentu. Baru pada masa reformasi pers merasakan indahnya kebebasan ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah, dan pers pada masa ini tak lagi harus takut dengan pembredelan saat mereka memberitkan kritik-kritik mengenai pemerintah.
Perkembangan pers di Indonesia ini sangat menarik untuk kita pelajari. Pers sudah ada dari jaman penjajahan, lalu berlanjut di jaman orde lama, orde baru, reformasi dan sampai saat inipun, pers tidak berhenti berkembang untuk menyediakan informasi yang transparent dan dapat dipertanggungjawabkan bagi masyarakat. Dengan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mempelajari mengenai sejarah system pers di Indonesia.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah makalah ini adalah: “bagaimana sejarah perkembangan system pers di Indonesia pada masa lalu sampai sekarang?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah: mengetahui sejarah perkembangan system pers di Indonesia pada masa lalu sampai sekarang.

D. Manfaat
Manfaat dari ditulisnya makalah ini adalah, agar kita mengerti bagaimana peran dan kerasnya perjuangan pers dimasa lalu dalam usaha kemerdekaan, serta bagaimana system-sistem pers pada masa itu, sehingga diharapkan perkembangan pers kedepannya menjadi lebih baik.










BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pers
Mendengar kata pers, tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita, setiap hari kita secara sadar maupun tidak sadar selalu berhubungan dengan pers. Jika kita telisik lebih jauh, pers sebenarnya telah ada di Indonesia sejak jaman dahulu, yaitu jaman penjajahan. Namun sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mengenal sejarah system pers di Indonesia, ada baiknya kita mengetahui makna dan arti dari pers situ sendiri, pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala., secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”.  Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia. ( Wikipedia )
Menurut UU pers no 40 tahun 1999, Pers bias diartikan sebagai sebuah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Beberapa pengertian tentang pers  dalam KBBI adalah :
1)    Alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar.
2)    Alat untuk menjepit, memadatkan.
3)    Surat kabar dan majalah yang berisi berita.
4)    Orang yang bekerja di bidang peresuratkabaran.
Jika membahas mengenai pers di Indonesia, kita harus memutar waktu kembali ke masa penjajahan atau masa-masa bangsa eropa menapakkan kakinya di negeri kita. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa bangsa Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah berjasa mempelopori hadirnya dunia pers di Indonesia. Karena sebelum kedatangan bangsa belanda, bangsa Indonesia saat itu diperkirakan belum mengenal pers. Sejarah awal mula berkembangnya pers di Indonesia sudah dimulai pada abad ke 17,  Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744 ada kemungkinan bahwa Bataviase Nouvelles ini merupakan surat kabar pertama yang terbit di Pulau Jawa pada zaman Hindia Belanda, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Pers di Eropa sudah mulai dirintis sejak awal abad ke-17, walaupun pada saat itu bentuk medianya masih sangat sederhana, dan muatan beritanya pun masih belum bervariasi, para pengusaha saat itu sudah meramalkan bahwa pers akan menjadi sebuah kesempatan bisnis yang sangat menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia. Pada saat itu tujuan mereka dalam bisnis surat kabar ini bukan hanya untuk mencari keuntungan saja, namun mereka telah menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal penting dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.
Bisa dikatakan bahwa media massa pada saat itu berfungsi sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini. Berbagai majalah saat itu telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita. Beberapa diantaranya adalah majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen dan masih banyak lagi.
Koran atau surat kabar berkala di Batavia sampai pada akhir abad ke-19 masih hanya menggunakan bahasa belanda dan para pembacanya tentu saja hanya masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal. Beberapa hal mulai berubah pada saat memasuki abad ke-20, lebih tepatnya di tahun 1903, koran mulai berani membahas soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masyarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.
Berbagai macam kritik sering dikemukakan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.
Anehnya, kritik-kritik yang menerpa para petinggi ini tak lantas membuat para petinggi merasa jatuh, bahkan dengan kritik ini mereka mengubah kebijakan-kebijakan yang dianggap kurang tepat pada saat itu. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak. Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan Pers kaum pribumi
Surat kabar-surat kabar selanjutnya pun banyak yang terinspirasi dari surat kabar “Medan prijaji” ini. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Kini dengan hadirnya medan prijaji ini, kebebasan mengemukakan pendapat mulai mengalir, dan hal inilah yang sedari dulu telah ditunggu-tunggu oleh kaum pergerakan. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia. Penerbitan media massa pergerakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun ada juga yang mendapatkan izin dari pemerintahan Belanda. Dan ketika isi media acapkali berseberangan dengan pola fikir pemerintah Belanda sesering itulah pers di breidel.
Untuk menanggulangi hal itu, maka dibuatlah kebijakan pembelengguan kebebasan menyuarakan pesan kebebasan negeri yang tertuang dalam undang-undang
a.       Drukpers reglement tahun 1856 tentang aturan sensor preventif.
b.      Pers ordonantie tahun 1931 tentang pembredelan surat kabar.
Pada masa ini tokoh-tokoh pergerakan yang mengopinikan kemerdekan lewat media massa seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul oleh dua penguasa tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu Gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936) dan Gubernur Jenderal Tjarda van Star. De Jonge sendiri menamakan artikel-artikel tokoh pergerakan (memberi labelling) gezagsvijandige artikelen atau tulisan-tulisan yang memusuhi pemerintah. Di masa pemerintahan Jepang kehidupan pers lebih dipersempit, selain UU Belanda UU No 16 yang pasal-pasalnya sangat menakutkan mengenai izin terbit, pembelengguan kebebasan pers dengan memasukan tokoh-tokoh pergerakan kedalam penjara, dan membreidel penerbitannya diberlakukan. Di setiap surat kabar ditempatkan Shidooin (penasihat) yang tidak jarang menulis artikel dengan mencatat nama anggota redaksi

B. Sejarah Perkembangan Pers Nasional
            Pers Indonesia bisa dikatakan dimulai Sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA yang didirikan oleh Soemanang, A.M. Sipahoentar, Adam Malik dan Pandu Kartawiguna pada tanggal 13 Desember 1937, sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Namun, sebenarnya pers sudah ada di Indonesia jauh sebelum itu, yaitu dimulai pada zaman penjajahan belanda, jepang, sampai pada masa reformasi dan sekarang ini.
1.      Pers pada masa Penjajahan Belanda dan Jepang

a.      Zaman Belanda
Perkembangan pers pada masa ini dapat ditandai dengan terbitnya surat kabar yang bernama Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes Pada tanggal 7 Agustus tahun 1744 yang lebih dikenal dengan kependekkannya yaitu Bataviasche Nouvelles, surat kabar inipun hanya  terbit selama 1 tahun. Sebenarnya pada tahun 1615 Gubernur Jenderal pertama VOC Jan Piterszoon Coen telah memerintahkan menerbitkan Memorie der Nouvelles, penerbitan ini tidak dicetak tetapi ditulis tangan. Memorie der Nouvelles tidak hanya dibaca orang di Betawi saja tetapi juga merupakan bacaan tetap para pejabat Belanda di Ambon, terbitan ini bertahan sampai tahun 1644.
Tanggal 5 Januari 1810 Gubernur Jenderal Daendels menerbitkan sebuah surat kabar mingguan Bataviasche Koloniale Courant yang memuat tentang peraturan-peraturan tentang penempatan jumlah tenaga untuk tata buku, juru cetak, kepala pesuruh dan lain-lain, harga langganan juga telah ditulis di terbitan tersebut. Lalu memasuki tahun 1811, saat itu Hindia Belanda telah menjadi jajahan Inggris dan Bataviasche Koloniale Courant tidak terbit lagi. Orang Inggris menerbitkan Java Government Gazette. Surat kabar ini sudah memuat humor dan terbit antara 29 Februari 1812 sampai 13 Agustus 1814. Hal ini dikarenakan pulau Jawa dan Sumatera harus dikembalikan kepada Belanda. Belanda kemudian menerbitkan De Bataviasche Courant dan kemudian tahun 1828 diganti dengan Javasche Courant memuat berita-berita resmi,  juga berita pelelangan, kutipan dari surat kabar di Eropa dan juga pernah memuat sajak Multatuli ( Eduard Douwes Dekker ) pada tahun 1845 .
Surat kabar Soerabajaasch Advertentieblad terbit di Surabaya pada bulan Juli 1835. Kemudian di Semarang pada pertengahan abad 19 terbit Semarangsche Advertentieblad dan De Semarangsche Courant dan kemudian Het Semarangsche Niuews en Advertentieblad . Surat kabar ini merupakan harian pertama yang mempunyai lampiran bahasa lain misal, Jawa, Cina dan juga Arab yang ditulis dengan huruf Jawa, Cina dan Arab. Tahun 1862 untuk pertama kali dibuka jalan kereta api oleh Pemerintah Hindia Belanda maka untuk menghormati hal tersebut Het Semarangsche Niuews en Advertentieblad berganti nama menjadi de Locomotief. Surat kabar pada waktu jaman penjajahan ini tidak banyak memiliki arti politis tetapi hanya merupakan surat kabar periklanan, dan sedikit berita jumlah oplaag yang dicetak hanya sekitar 1000 – 1200 eksemplar.
Pelopor surat kabar dengan bahasa jawa akhirnya muncul, adalah Bromartani yang terbit pada tanggal 21 Maret 1855 di Surakarta yang dipimpin oleh Carel Frederick Winter Junior seorang pecinta dan Juru Bahasa Jawa di Kraton Surakarta jumlah pelanggan Bromartani mencapai 320 orang. Setelah C.F Winter meninggal tahun 1859 para sahabatnya di Solo menerbitkan surat kabar Djoeroemartani tahun 1865 yang kemudian pada tahun 1870 diubah namanya menjadi Bromartani untuk mengenang CF Winter. Surat ini terbit sampai tahun 1932. Berbagai surat kabar berbahasa Melayu yang terbit saat itu hampir semua diusahakan, dimiliki oleh peranakan Belanda. Tetapi sejak tahun 1880 mulai terbit surat kabar yang dikelola peranakan Cina – Melayu Pemberita Betawi , Bintang Surabaya, Bintang Betawi. Kemudian diawal tahun 1900-an muncul Li Po (1901), Chabar Perniagaan ( 1903 ), Ik Po ( 1904 ), Sin Po ( 1910 ).
Tak mau kalah dengan orang Belanda dan Cina yang telah menerbitkan surat kabar, maka bulan Januari 1904 Haji Samanhudi tertarik untuk berjuang bidang penerbitan bekerjasama dengan Raden Mas Djokomono, kemudian terbitlah Medan Prijaji sebuah surat kabar yang disebut sebagai tonggak jurnalistik Indonesia. Surat Kabar ini dipimpin oleh Raden Mas Djokomono yang terkenal dengan nama RM Tirto Adhie Soeryo. Gerakan kebangsaan pada waktu itu telah memanfaatkan media koran dan majalah untuk mengungkapkan gagasan mereka, pers nasional mencerminkan kehidupan gerakan kebangsaan dan sekaligus menyebarkan gagasan idealisme para founding father kita. [1]
Setelah Medan Prijaji maka terbit pula Darmo Kondho, Fikiran Ra’jat, Soeloeh Ra’jat Indonesia di luar Jawa surat kabar yang juga menyebarkan gagasan yang sama misalnya Penghantar ( Ambon), Sinar Borneo ( Banjarmasin ), Persatoean ( Kalimantan ), Pewarta Deli, Matahari ( Medan ), Sinar Sumatera ( Padang )
b.  Zaman Jepang
Saat Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia sedikit demi sedikit mulai diambil alih. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat - alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei. Hanya dikota besar diperbolehkan ada surat kabar diantaranya Asia Raya (Jakarta), Sinar Baroe (Semarang), Soeara Asia ( Surabaya ) , Kita Sumatera Shimbun (Medan), Atjeh Simbun (Kutaradja)
Pada waktu itu surat kabar Belanda tidak boleh terbit, wartawannya ditangkap dan dipenjara, jikapun ada wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang lalu menerbitkan suratkabar dan sebangsanya untuk kepentingan Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang . Salah satunya adalah majalah Djawa Baroe yang berisi tentang propaganda Jepang .[2]
Pada masa penjajahan Jepang di Bandung terbit surat kabar Tjahaya yang dipimpin S. Bratanata. Koran ini pada tanggal 18 Agustus 1945 sempat memuat Undang-undang Dasar RI. Isi dan wajah koran Tjahaya berubah menunjukan wajah republikein seratus persen. Setelah Indonesia merdeka dan Jepang kalah perang, Jepang menerbitkan koran yang hendak menghalangi kelancaran roda pemerintahan Indonesia yaitu Berita Gunseikanbu. Kemudian para pelajar Kenkoku Gakuin (semacam sekolah pangreh –praja ) menerbitkan koran Berita Indonesia untuk menyaingi koran terbitan Jepang tersebut.

2. Pers pada masa Revolusi
Pers pada masa ini berfungsi sebagai alat untuk memperjuangkan kemerdekaan, sehingga sering disebut dengan pers perjuangan. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Ketika kemerdekaan Indonesia dikumandangkan surat kabar yang terbit pertama adalah koran Berita Indonesia (6 September) koran ini terbit secara teratur, kemudian majalah Tentera, dan disusul surat kabar Merdeka yang dipimpin oleh BM Diah. Pemerintah Indonesia juga tak mau ketinggalan menerbitkan Negara Baroe yang dipimpin Parada Harahap, yang kemudian juga menerbitkan Soeara Oemoem tetapi hanya sebentar bertahan.
Lalu pada awal Desember 1945 terbit majalah tengah bulanan Pantja Raya kemudian disusul majalah dan surat kabar lain diantaranya : Pembangoenan (Sutan Takdir Alisyahbana ), Siasat, Pedoman. Mimbar Indonesia. Di daerah selain Jakarta juga terbit koran diantaranya : Menara Merdeka (Ternate), Soeara Indonesia, Pedoman (Makasar), Soeara Merdeka (Bandung), Soeara Rakjat ( Surabaya), Kedaulatan Rakyat, Nasional (Yogyakarta), Soeloeh Rakyat ( Semarang), Pewarta Deli, Suluh Merdeka, Mimbar Umum ( Sumatera Utara ), Sumatera Baru ( Palembang), Pedoman Kita, Demokrasi, Oetosan Soematera ( Padang ), Semangat Merdeka (Aceh). Selain itu Kantor Berita Antara juga telah ikut berperan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia
Saat itu wartawan berjuang keras untuk mewujudkan kemerdekaan di indonesia. Dalam tekanan pemerintah Jepang yang tidak mau melepaskan Indonesia merdeka dan Belanda yang membonceng Sekutu untuk kembali menancapkan kekuasaannya maka pers Indonesia pada waktu itu berdiri dibelakang kaum republikein menyokong terus menyuarakan kemerdekaan Indonesia sehingga orang menyebut pers republiken. Untuk menandingi tulisan-tulisan yang termuat pada koran republiken Belanda membuat koran tandingan diantaranya De Courant (Bandung), De Locomotief (Semarang), Java Bode (Jakarta). Saat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta terpaksa pindah ke Yogyakarta dan kemudian Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia para wartawan – pun juga banyak yang ikut pindah ke Yogyakarta. Ketika ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta itulah tanggal 9 Februari 1946 para wartawan berkumpul di gedung Sociteit atau Sasono Suko Solo ( sekarang Monumen Pers Nasional ) mendirikan organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ). Ini merupakan organisasi profesi wartawan pertama setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dengan Ketua Mr. R.M Sumanang Suryowinoto. Dan empat bulan kemudian tepatnya 8 Juni 1946 berdiri Serikat Perusahaan Surat Kabar (SPS) di Yogyakarta. Hal ini makin memperkokoh peran pers di awal berdirinya negara Indonesia.[3]

3.  Pers pada masa Demokrasi Liberal
Pada Desember 1949, dunia internasional mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Surat kabar Indonesia Raya sendiri, pertama kali terbit di Jakarta, dengan nomor pertama yang tiba di tangan pembaca, berselang dua hari sesudah peristiwa penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, 27 Desember 1949. Sementara itu, lebih dari setahun sebelumnya yakni 29 November 1948, di Jakarta juga telah terbit harian Pedoman yang dibawahi oleh Rosihan Anwar, harian Merdeka yang telah terbit sejak 1 Oktober 1945 dan Indonesia Merdeka yang terbit sejak 4 Oktober 1945. Era liberal itu, ditandai dengan peningkatan tiras surat kabar di Indonesia. Tahun 1950, sebanyak 67 harian yang terbit berbahasa Indonesia bertiras sekitar 338.300 eksemplar. Kemudian pada 1957, jumlah harian di Indonesia bertambah menjadi 96 judul dengan tiras mencapai 888.950 eksemplar. Setahun sebelum pemilihan umum pertama, 1955, terdapat setidaknya 27 koran yang terbit di Jakarta. Total tiras seluruh surat kabar tersebut mencapai 320.000 eksemplar, dengan empat surat kabar besar, yakni harian Rakyat, koran organ PKI yang mempunyai tiras hingga 55.000 eksemplar, Pedoman yang berorientasi PSI dengan tiras 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia yang ditengarai oleh organ PNI dengan tiras 40.000 eksemplar dan harian Abadi yang berorientasi Masyumi dengan tiras 34.000 eksemplar.
Sepanjang masa demokarasi konstitusional hingga pemberlakuan undang-undang darurat perang pada 1957, terdapat setidaknya tujuh kabinet koalisi. Ketika mencapai puncak kekuasaannya, setiap partai yang memerintah tentu memberikan perhatian yang lebih besar kepada organ-organ dan para pengikutnya. [4]
Seperti, menyediakan kredit pendanaan pers serta keperluan kantor. Sementara, di lain pihak, surat kabar dari kaum oposisi berulang kali diberangus. Pada tahun selanjutnya, pers dan wartawan di Indonesia masih diliputi suasana penuh tantangan akibat dari berlarut-larutnya revolusi dan masih manifesnya penjajah untuk kembali ke Indonesia. Dapat dikatakan bahwa setelah kemerdekaan, semangat yang menjiwai perjuangan kemerdekaan mulai luntur, terjadi persaingan keras antar kekuatan politik. Pers Indonesia ikut larut dalam arus ini, terjadi perubahan watak dari pers perjuangan menjadi pers partisipan. Pers sekadar menjadi corong partai politik. Meskipun pers bersifat partisipan, bisa dikatakan periode ini adalah masa bahagia yang singkat buat kebebasan pers, khususnya untuk wartawan politik. Inilah akhir periode kebebasan pers di Indonesia dan awal rezim Orde lama berkuasa.

4.  Pers pada masa Demokrasi Terpimpin
Perkembangan pers pada masa ini terjadi akibat pergolakan dalam dunia politik yang terus terjadi. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, lalu pada Februari 1957, Soekarno kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang diinginkannya, hampir berselang dengan terjadinya berbagai pemberontakan di banyak daerah di Indonesia yang melihat sentralitas atas hanya daerah dan penduduk Jawa. Munculnya berbagai pemberontakan di daerah dan di pusat sendiri, membuat Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang pada 14 Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia terkungkung dalam perseturuan antara parlemen melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan militer. Namun, tak berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45, disusul dengan pelarangan Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi, karena keterlibatan kedua partai tersebut dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 di Sumatera.
Kegagalan Soekarno, menyebabkan ia segera berpaling kepada PKI dan menstimulasi pihak militer agar memberi dukungan penuh pada dirinya. Sebaliknya, PKI bergantung kepada Soekarno untuk dapat memimpin bangsa. Berbagai slogan politik mulai bermuculan, seperti Manipol (Manifesto Politik), Berdikari (Berdiri Di Atas Kaki Sendiri), Nefos (New Emerging Forces) dan Oldefos (Old Establishment Forces), ditambah dengan upaya dilplomasi serta manuver konfrontasi dengan Malaysia. Soekarno menstimulasi rakyat dengan semangat revolusi, dengan dirinya sebagai tokoh pemimpin revolusi. Sepanjang periode Demokrasi Terpimpin dan diberlakukannya Undang-Undang Darurat Perang, pers pun mengalami era terpimpin ini. Presiden Soekarno memerintahkan pers agar setia kepada ideologi Nasakom serta memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat. Soekarno tidak ragu-ragu untuk melarang surat kabar yang menentangnya. Di bawah Soekarno, surat kabar yang dikelola oleh kaum komunis tumbuh subur. Muncul perlawanan dari kelompok surat kabar sayap kanan nasionalis, yang mengatasnamakan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Konflik antara surat kabar sayap kanan dengan surat kabar kelompok kiri tidak terelakkan. Soekarno ternyata lebih memilih kaum kiri, dan surat kabar kaum kanan yang anti komunis dilarang terbit.
Periode Demokrasi Terpimpin umumnya dikatakan sebagai periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini bisa dimaklumi karena persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers Indonesia telah melampaui batas-batas toleransi. Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik. Pers seakan-akan dilihat sebuah senapan yang siap menembakkan peluru (informasi) ke arah massa atau khalayak yang tak berdaya. Pers dianggap sebagai alat “revolusi” yang besar pengaruhnya untuk menggerakkan atau meradikalisasi massa untuk menyelesaikan sebuah revolusi. Pandangan ini dapat dilihat pada bagian pendahuluan dari pedoman penguasa Perang Tertinggi, 12 Oktober 1960 untuk pers Indonesia yang berbunyi : “Sebagaimana kita semua telah memaklumi, surat kabar dan majalah merupakan alat publikasi yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi pendapat umum. Oleh karena itu, maka surat kabar dan majalah tersebut dapat dipergunakan sebagai alat penggerak massa untuk menyelesaikan revolusi Indonesia menuju masyarakat yang adil dan yang makmur.” Oleh karena itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai seluruh pers, yang dalam praktik bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat tetapi untuk revolusi kekuasaan rezim itu sendiri. Atas dasar itulah penguasa melakukan rekayasa terhadap pers melalui system regulasi yang represif. Misalnya penguasa mengeluarkan Sebuah Pedoman Penguasa Perang Tertinggi untuk Pers Indonesia pada 12 Oktober 1960.
Tujuan utama dari pedoman ini adalah mewajibkan pers menjadi pendukung, pembela, alat penyebar manifesto politik Soekarno serta mewajibkan pers untuk memiliki izin terbit. Hal ini dilakukan oleh penguasa untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi. Setiap penerbit pers yang akan mengajukan surat izin terbit diharuskan mengisi sebuah formulir berisi 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan majalah seandainya ia sudah diberi izin terbit. Jika diteliti pasal per pasal memperlihatkan usaha penguasa untuk benar-benar “menjinakkan” pers di dalam cengkeraman kekuasaannya. Bagi penerbit yang tidak bersedia menandatangani perjanjian 19 pasal ini, otomatis tidak diperkenankan melanjutkan penerbitannya. Para penanggung jawab surat kabar dan majalah yang masih ingin mempertahankan nurani serta idealismenya, kebanyakan tidak bersedia menandatanganinya dan lebih suka menutup sendiri penerbitannya.
Ternyata dengan menggunakan cara retooling ini, sangat efektif untuk menjinakkan atau memakai istilah Mochtar Lubis (1978), mengebiri pers. Akhirnya pers yang tersisa atau masih terbit adalah pers yang sudah jinak dan mandul yang kesetiaannya tidak diragukan lagi. Mengutip cerita Alfian (1991) : “Bung Karno yang praktis mendominasi kehidupan politik pada waktu itu boleh dikatakan juga mendominir komunikasi politik. Sebagai komunikator yang luar biasa, pidato-pidatonya yang sering panjang mempesona yang mendengarkannya. Media cetak boleh dikata menuruti apa saja yang diucapkannya. Pada umunya ulasan atau tajuk rencana memberikan dukungan dan bahkan sering mengagung-agungkannya. Bung Karno memang termasuk tokoh yang suka dikritik, dan semakin besar kekuasaannya semakin sensitive pula dia terhadap kritik. Mengetahui itu pers semakin takut kepadanya, dan bersamaan dengan itu isi media massa makin memuja dan menyanjungnya. Proses pengkultusan individunya meningkat pula.”
Prinsip-prinsip demokrasi yang hendak ditegakkan oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut :
1. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
2. Demokrasi terpimpin bukanlah diktatur, tetapi demokrasi yang berbeda dengan demokrasi liberal.
3. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial.
4. Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan.
Demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan negara, kepri­badian bangsa, kepentingan rakyat banyak, dan batas pertanggung­jawaban kepada Tuhan.[5]
5.  Masa Orde Baru
Masa ini dimulai dengan berakhirnya peristiwa G 30 S/PKI, berakhir pula masa pemerintahan Orde Lama. Kemudian bangsa Indonesia memasuki alam Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru ini fungsi dan sistem pers masih belum berjalan dengan baik. Ketika itu surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan terompet masyarakat untuk menentang kebijaksanaan Orde Lama clan menyokong aksi-aksi mahasiswa/pemuda sehingga surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan parlemen masyarakat. Gejala-gejala pers liberal kembali melekat, apalagi ketika menjelang Pemilu 1971, sinisme dan kritik yang sifatnya tidak membangun kembali memenuhi lembaran-lembaran surat kabar kita. Timbulnya gejala-gejala yang tidak menguntungkan tersebut, antara lain disebabkan tidak adanya pembinaan yang tegas, baik dari instansi-instansi resmi maupun badan-badan atau organisasi-organisasi yang berkepentingan tentang adanya pers nasional yang sehat, pers nasional yang dapat melaksanakan fungsi-fungsinya, baik yang bersifat universal maupun sebagai alat perjuangan bangsa.
Akan tetapi, ketika masa Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Oleh karenanya, pada masa ini pers merupakan salah satu unsur penggerak pembangunan. Kita tentu menyadari bahwa pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun demikian, kita juga menyadari bahwa perubahan sebagai akibat dari pembangunan tidak akan terjadi jika rakyat tidak mengetahui dan dapat menerima motivasi, metode, dan hasil-hasil yang akan dibawa oleh pembangunan itu. Untuk inilah diperlukan penerangan yang lugs kepada rakyat tentang maksud Berta tujuan pembangunan. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi meru­pakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan.
Seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian dilatarbelakangi adanya keinginan sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan segala daya dan upaya, para elit berusaha membendung berbagai pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikan diri atau kroni-kroninya. Kehidupan pemerintahan diliputi dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde Baru pun akhirnya tumbang oleh kekuatan rakyat yang dimotori oleh para mahasiswa. Salah satu tuntutan mahasiswa-rakyat Wall adanya kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, yang berarti adanya jaminan kebebasan pers.[6]

6.  Masa Reformasi
Tahun 1998 merupakan saksi penting bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu munculnya reformasi dengan turunnya Soeharto sebagai presiden RI. Runtuhnya Orde Baru membuka era demokrasi dan kebebasan pers yang sebelumnya tidak pernah mampu dinikmati bangsa Indonesia. Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden. Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer. Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi.
Walaupun saat itu ongkos produksi sangat besar dan pesaing yang banyak, tetap tidak mengurangi perkembangan media massa di Indonesia. Akan tetapi, kondisi yang sama juga telah melahirkan jenis-jenis pers yang aneh. Banyak pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah memberitakan apa saja, kecuali yang benar. Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang tidak bebas dan bertanggung jawab; pers Orde Habibie adalah pers yang bebas dan tidak bertanggung jawab. Diwarnai oleh suasana politik yang tidak menentu, hampir Semua surat kabar memusatkan perhatiannya pada berita politik. Karena situasi politik sebenarnya cenderung tidak banyak berubah, pers menjadi sangat aktif untuk membuat berita politik dengan mengakses sumber-sumber berita yang tidak lazim, sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pers kita sekarang sedang menikmati era keamasan kebebasannya. Bila kita kecewa dengan kinerjanya, kita tidak punya hak untuk mencabut kebebasan itu. Semua orang sepakat walaupun sebagian hanya dalam kata-kata bahwa reformasi harus dilanjutkan. Salah satu institusi yang sangat berperan dalam proses reformasi ini adalah pers. Sekaranglah saatnya pers Indonesia menemukan jati dirinya, dengan merumuskan perannya secara jelas. Siapakah yang paling bertanggung jawab di sini? Jelas sekali, bukan pemerintah, bukan Dewan Pers, apalagi TNI; tetapi insan pers sendiri, khususnya para pemimpin dan penentu kebijakan surat kabar. Dalam hubungannya dengan pemerintah, para pakar komunikasi bercerita tentang tiga modus peran pers. Pers dapat menjadi watch-dog, yang segera menggonggong ketika terjadi penyimpangan pada perilaku rezim. Semua kebijakan pemerintah menjadi target serangan pers. Peran watch-dog ini sudah lama kita tepiskan sebagai peran yang tidak sesuai dengan pers Pancasila.
Secara ideal, kita sudah memilih peran pers sebagai mitra (partner) pemerintah. Pers berdampingan dengan pemerintah mengemban misi mulia memberikan penerangan dan pendidikan (membangun masyarakat). Lalu, lahirlah pers pembangunan. Secara praktis, pers kita selama Orde Baru mengambil posisi sebagai budak pemerintah (slave). Kemitraan hanya tumbuh di antara yang setingkat, yang sama (equal). Dalam hubungan yang supra dan subordinasi, pers hanya menjadi kuda tunggangan pemerintah. Pers Indonesia sekarang harus menggeser paradigms lama dan harus menjadi lembaga independen, yang memihak pads kebenaran. Pers Indonesia boleh jadi sekali waktu bekerja untuk menyukseskan program pemerintah atau menyorot kebijakan pemerintah dengan kritis atau sekadar mendampingi pemerintah. Ini berarti pers harus membantu proses demokratisasi. Demokrasi merupakan sebuah sistem yang berusaha memenuhi keinginan seluruh rakyat. Karena tidak ada satu pun yang dapat memenuhi keinginan seluruh rakyat, maka paling tidak kits harus memperhatikan keinginan rakyat yang terbanyak.
Namun, setelah berjalan kurang lebih lima tahun, yang terjadi bukan pers yang sehat, tetapi anarki di bidang media massa. Pers Indonesia belum mampu menjadi pilar demokrasi dan mendukung reformasi, tetapi malah menjadi salah satu penyebab berbagai macam keresahan sosial. Mengapa demikian? Masalahnya sangat sederhana. Dengan kebebasan pers yang hampir tanpa batas, tetapi tidak diiringi profesionalitas yang tinggi di kalangan pekerja pers, maka yang terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan kalangan pers dalam menjalankan tugasnya. Opini yang berkembang adalah pers gosip, pornografi, clan berita-berita yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, dalam pandangan sebagian anggota DPR, ada wacana tentang perlunya merombak UU No. 40 tahun 1999 dengan perlunya memasukkan kembali prinsip perijinan dan mekanisme pengawasan dalam penerbitan pers. Dalam era reformasi ini, bukan pemerintah lagi yang berperan sebagai regulator, tetapi lembaga yang dibentuk kalangan pers sendiri. Pers harus bebas, tetapi kebebasannya harus bermanfaat untuk masyarakat. Wacana perlunya regulator bagi penerbitan media massa mungkin bukan suatu solusi terbaik bagi kalangan media di Indonesia. Namun demikian, jika ingin menyelamatkan demokrasi dan reformasi, maka pers harus menata dirinya sendiri dan mengatur diri tanpa adanya campur Langan (intervensi) dari penguasa.[7]

C. Karakteristik Pers
            Pers berkembang mengikuti perkembangan dunia, baik dari segi ekonomi, politik, budaya dan tekhnologi, hal tersebut membuat pers dibedakan dalam hal sifat dan karakteristik, sebagai berikut :
            a. Liberal Democration Pers (Pers Demokrasi Liberal)

Pers dipersiapkan sebagai kebebasan yang tanpa batas, artinya kritik dan komentar pers dapat dilakukan kepada siapa saja, termasuk kepada kepala negara sekalipun.
b. Communist Pers (Pers Komunis)
Terbentuknya karena latar belakang pemerintahan negaranya yang menitik beratkan pada kekuasaan tunggal partai komunis. Dengan demikian, maka suara pers harus seiring sejalan dengan suara partai yang sedang berkuasa. Wartawannya adalah orang-orang yang menganut ideologi komunis atau marxisme. Contoh: Rusia, China, Kuba, dan Korea Utara.
c. Authoritarian (Pers Otoriter)
Terlahir dari Negara penganut politik fasis (pemerintah berkuasa mutlak). Pers dilarang melakukan kritik dan kontrol kepada pemerintah. Pers hanya merupakan alat pendukung kepentingan penguasa. Contoh: Pers di Jerrnan pada masa Adolf Hitler, pers di Italia pada masa Musolini.
d. Freedom and Responsibility (Pers Bebas dan Bertanggung Jawab)
Istilah ini awalnya merupakan slogan dari Negara-negara barat, yang menginginkan kebebasan pers harus dipertanggungjawabkan kepada kehidupan bermasyarakat kebebasan pers di setiap negara akan berbeda, tergantung pada bobot yang dianut oleh masing-masing negara.
e. Development Pers (pers Pembangunan)
Terdapat pada negara-negara yang sedang berkembang (developing countries). Masing-masing Negara memiliki arah dan tujuan yang berbeda. Batasan untuk menyamaratakan pandangan terhadap pers pembanguna menurut Wilbur Schramm :
1.      Pers harus dapat menciptakan iklim pembangunan di negaranya.
2.      Pers harus mampu mengarahkan perhatian masyarakat dari kebiasaan lama menjadi perilaku yang lebih maju.
3.      Pers harus mampu memperluas pandangan bagi masyarakat.
4.      Pers harus dapat menumbuhkan dan meningkatkan aspirasi serta mendorong masyarakat agar memiliki pola pikir ke arah kehidupan yang lebih baik.
5.      Pers harus dapat memperlebar prose pertukaran pikiran atau diskusi dan kebijakan (policy).
6.      Pers harus dapat menetapkan norma sosial.
7.      Pers harus mampu membantu secara subtansial dari semua jenis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contoh: Indonesia, negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
f. Five Foundation (Pers Pancasila)
Dilahirkan oleh bangsa Indonesia karena falsafah Negara adalah pancasila. Sifat pers pancasila merupakan pers yang melihat segala sesuatu secara proporsional. Pers pancasila mencari keseimbangan dalam berita atau tulisannya untuk kepentingan serta kemaslahatan semua pihak sesuai dengan konsensus demokrasi pancasila. Negara yang menganut pers pancasila yaitu Indonesia.

D. Tokoh-Tokoh Pers
Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7 April 1917 – meninggal di Jakarta, 10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi duta besar untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand - semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi anggota DPR dan kemudian anggota DPA. Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat yang dulunya merupakan rumah orangtua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-Jakarta.
Adinegoro (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930). Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berasal dari Sulit Air, X Koto Diatas, Solok, Sumatera Barat. Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan.
Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul "Kritik atas Kritik" terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Pada tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat atlas pertama berbahasa Indonesia. Atlas tersebut dibuat dari Amsterdam, Belanda bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada tahun 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka. Pada tahun yang sama setelah atlas itu muncul, mereka juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk sekolah lanjutan.[1]
Dja Endar Moeda adalah perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan, 1861. Dididik sebagai guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887.  Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang. Di sana selain mendirikan sekolah swasta dia menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan oleh Lie Bian Goan. Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja Barat.
Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh. Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911 setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh. Djawoto (lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur, meninggal dunia 24 Desember 1992 di Amsterdam) berasal dari keluarga pangreh praja.
Djawoto adalah seorang otodidak. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan ia menekuni ilmu ekonomi dan politik. Djawoto juga belajar sendiri untuk menjadi wartawan dengan membaca setiap hari. Bukunya "Jurnalistik dalam Praktek" adalah hasil pengalaman pekerjaannya sehari-hari. Sejak tahun 1928 Djawoto sudah mulai menulis sebagai wartawan sampai kedatangan tentara pendudukan Jepang. Selama Perang Dunia II Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik di Kantor Berita "Domei", satu-satunya kantor berita yang diizinkan hidup selama pendudukan Jepang. Pada tahun 1945 Kantor Berita "Antara" dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.
Panda Nababan (lahir di Siborong-borong, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 13 Februari 1944; umur 66 tahun) adalah seorang wartawan Indonesia dan politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kedua orangtuanya, yaitu Jonathan Laba Nababan dan Erna Intan Dora Lumbantobing, bekerja sebagai guru. Nababan pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Umum Warta Harian (1969-1970), Redaktur Harian Umum Sinar Harapan, (1970-1987), Wakil Pemimpin Umum Harian Umum Prioritas (1987-1988) dan Kepala Litbang Media Indonesia (1988-1989). Salah satu puncak prestasinya sebagai wartawan ialah ketika ia memperoleh penghargaan jurnalistik Hadiah Adinegoro pada 1976.
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 18801918) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S.. Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918. Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.

E. Media Pers

Dalam melaksanakan kegiatan pers, tentu diperlukan media-media pendukungnya untuk memudahkan proses pencarian berita, serta agar berita bisa sampai ke tangan pembaca. Mengikuti perkembangan pers saat ini media pers dibedakan menjadi ,edia tradisional dan media modern.

a.      Media massa tradisional

Media massa tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas sebagai media massa. Secara tradisional media massa digolongkan sebagai berikut: surat kabar, majalah, radio, televisi, film (layar lebar). Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1.      Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan
2.      Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
3.      Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
4.      Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.

b.      Media massa modern

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi dan sosial budaya, telah berkembang media-media lain yang kemudian dikelompokkan ke dalam media massa seperti internet dan telepon selular. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1.      Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya)
2.      Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual
3.      Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu
4.      Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam
5.      Penerima yang menentukan waktu interaksi

F. Dinamika Pers
Pers di Indonesia sebenarnya tidak pernah sangat independen. Sejak zaman penjajahan, pers selalu dikendalikan oleh pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuannya. Di zaman Orde Lama, pers menjadi terompet partai. Pers berada di bawah partai. Organ partai. Namun demikian pers bebas bicara, bahkan sebebas-bebasnya. Memasuki zaman Orde Baru terjadi perubahan. Sejajar dengan proses depolitisasi, pers pun satu demi satu lepas dari partai. Pemerintah Orde Baru berusaha membangun partnership (kemitraan) dengan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Mengembangkan bentuk hubungan bapak-anak. Termasuk dengan pers. Kemitraaan dilandasi saling pengertian, tapi dalam praktiknya, pers yang harus banyak mengerti pemerintah. Pemerintah meminta pers mengerti posisinya. Pers diminta tidak gampang melancarkan kecaman kepada pemerintah, apalagi memojokkannya. Sehingga terjadi apa yang kemudian disebut self-censorship (swasensor). Dalam konteks kemitraan itu, seolah-oleh swasensor menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Bukan hal yang menyimpang dan perlu dipermasalahkan.
Di bawah rezim Orde Baru Soeharto, yang tertutup terhadap kritik dan tidak toleran terhadap perbedaan pandangan, muncul Deppen, atau departemen penerangan, yang mempunyai kewenangan besar dalam regulasi pers, begitu hebatnya tekanan itu, sehingga para Pemimpin Redaksi dari tujuh media massa –Kompas, The Indonesia Times, Pelita, Sinar Harapan, Merdeka, Sinar Pagi, dan Pos Sore—pada 26 Januari 1978 secara bersama-sama pernah mengirim “surat minta maaf” kepada Presiden Soeharto, sesudah medianya dilarang terbit oleh Kopkamtib. Dalam surat yang isinya meminta agar dibolehkan terbit lagi itu, juga tertera persetujuan dari Ketua Pelaksana Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Harmoko, dan Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar Pusat, Djamal Ali. Permintaan maaf semacam itu juga dilakukan Majalah Tempo pada 1 Mei 1982. Praktis pers Indonesia sudah membelenggu kebebasannya sendiri dan menyatakan tunduk pada rezim Soeharto.
Pada tahun-tahun awal Orde Baru, suasana politik baru semula diharapkan akan mengangkat kembali martabat dan kebebasan pers Indonesia. Namun rezim Soeharto ternyata setali tiga uang dengan rezim Soekarno dalam sikapnya terhadap pers. Contoh hidup perlakuan ini mungkin bisa dilihat pada figur Mochtar Lubis, mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974), yang pernah masuk penjara di rezim Soekarno dan rezim Soeharto karena kegigihannya memperjuangkan kebebasan pers.
Lalu pers di era reformasi diawali dengan langkah dadakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan menghapus keberadaan Departemen Penerangan dalam jajaran Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpinnya, pada Oktober 1999, seolah-olah menjadi klimaks mengejutkan dalam proses keterbukaan dan demokratisasi kehidupan pers di Indonesia. Bagi kalangan media cetak Indonesia, dengan lenyapnya Departemen Penerangan, kini tidak ada lagi lembaga “momok” bagi kebebasan pers, yang biasa mengintimidasi dengan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pada periode berikutnya di bawah pemerintahan Presiden Bacharudin Jusuf Habibie, pers Indonesia lebih mengenyam kebebasan, bahkan ada yang mengatakan pers Indonesia bersama pers Filipina menjadi pers yang paling bebas di Asia Tenggara. Kebebasan ini sebagian besar disebabkan lemahnya legitimasi dan kredibilitas pemerintah Habibie sesudah berhentinya Soeharto.
Ithiel de Sola Pool, ketika menuliskan peranan komunikasi dalam pembangunan, menyatakan: “Media massa melengkapi masyarakat dengan keterangan-keterangan dasar. Tetapi masyarakat tidak akan bertindak sesuai dengan keterangan-keterangan baru itu apabila mereka tidak dianjur-anjurkan oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka yang mereka kenal dan hargai.” Dalam kasus gerakan reformasi 1998, pers menangkap arus desakan yang amat kuat ke arah perubahan di dalam masyarakat Indonesia, dan baru kemudian sesudahnya pers ikut terjun serta memberi kontribusi dalam arus besar tersebut. Dalam hal ini, tekanan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan menghantam kepentingan ekonomi kalangan industri pers ikut andil dalam memojokkan institusi-institusi pers untuk bersikap tegas dan memilih mendukung arus reformasi demi kepentingannya sendiri. Dalam hal ini, pers berperan sebagai katalisator yang mempertahankan dan mempercepat momentum gerakan reformasi.
Lalu, bagaimana dengan pers pada saat ini. Pers pada saat ini bak berada di ketiak konglomerat/pengusaha. Yang menarik perkembangan terakhir ini adalah fenomena beralihnya perusahaan pers dari orang-orang pers ke orang-orang non-pers. Kalau sudah begini, pemberitaannya pun jauh dari nilai-nilai jurnalistik dan lebih mementingkan seks, kekerasan, mistik dan kesenangan semu.





BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Melihat kembali sejarah pers masa lalu, dapat kita simpulkan bahwa pers pada masa penjajahan baik Jepang maupun Belanda, masih sedikit dan diawasi dengan ketat oleh pihak penjajah itu sendiri. Pers pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin (orde lama) mulai menikmati kebebasan pers yang lebih luas namun pers pada masa orde lama lebih cenderung digunakan sebagai sarana untuk menyiarkan kebijakan pemerintah maupun partai oposisi. Pers pada masa orde baru mirip pada masa orde lama, dan banyak terjadi pembredelan media cetak yang tidak sesuai dengan ‘selera’ presiden pada masa reformasi kegiatan jurnalisme telah dilindungi Undang-Undang Penyiaran dan Kode etik pers, selain itu pers juga menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan pemberitaan karena tidak ada lagi ancaman pembredelan seperti dulu. Sejarah pers Indonesia tidaklah sepanjang sejarah pers bangsa—bangsa yang lebih dahulu memerdekakan dirinya. Jika kita merunut titik pangkalnya, awal pers di Indonesia memainkan peranan dalam memberikan pencerahan pada masyarakat bermula pada masa, ketika Belanda menjajah Indonesia. Dalam masa-masa penjajahan, kemunculan pers pribumi ditujukan untuk memotivasi, menyentil memberikan pendidikan politik dan membakar perasaan rakyat agar mau berjuang melepaskan diri dari penjajahan. Agar lekas memperoleh kemerdekaan.

  1. Saran
Dengan mempelajari mengenai sejarah system pers di Indonesia, diharapkan kedepannya akan tercipta pers yang ideal demi tegaknya kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokrasi. Pers bebas yang difungsikan oleh jurnalis-jurnalis profesional, Profesionalisme yang menjadi esensi jurnalis dalam institusi pers bebas yang berfungsi menjaga dihormatinya hak setiap warga masyarakat–siapa pun tanpa kecuali–untuk tidak dimobilisasi melainkan berpartisipasi di dalam setiap proses politik. Pers bebas yang tidak ada di bawah kontrol siapa pun, kecuali di kontrol oleh jurnalis profesional yang berkeahlian dan berintelektual tinggi–sebagaimana layaknya insan-insan profesional yang lain–dan yang melaksanakan tugasnya tidak akan dikontrol oleh siapa pun, kecuali kode etiknya itu sendiri, di bawah pemilik organisasinya sendiri yang independen.








DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Taufiq Moeljanto. 1995. Prahara Budaya. Jakarta : Mizan
Notodidjojo, Soebagijo. 1998. PWI di Arena Masa. Jakarta : Balai Pustaka
Suadi, Haryadi. 2006. ”Medan Prijaji” Koran Politik Pribumi. Jakarta : Pikiran Rakyat
H. Soebagijo IN . Sejarah Pers Indonesia. Dewan Pers . 1977
Samsudjin Probohardono. Sejarah Pers dan Wartawan Surakarta . 1985
Persatuan Wartawan Indonesia . Buku Direktori Pers dan Masyarakat Komunikasi Indonesia 2006 .
Iis Suryani. “Makalah Perkembangan Pers di Indonesia”. 2012
Zaldy Munir. Dinamika Pers di Indonesia dalam Tantangan Globalisasi. 2009
Satrio Arismunandar. Dinamika Pers Indonesia Era Reformasi. 2006
www. Sejarah Pers.com
www. Wikipedia.com
www.dharmabangsa.ac.id



[1] -Ciri-Ciri pers pada masa belanda : Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Persbreidel Ordonantie, Haatzai Artikelen, Kontrol yang Keras Terhadap Pers
- Pers mahasiswa pun lahir di masa ini, sebagai alat untuk menyebarkan ide-ide perubahan kesadaran rakyat akan pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Dalam era ini bermunculan Hindia Putra (1908), Jong Java (1914), Oesaha pemoeda (1923) dan Soeara Indonesia Moeda (1938) yang secara gigih dan konsekuen atas keberpihakannya yang jelas pada perjuangan kemerdekaan.
[2] Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang : Penekanan Terhadap Pers Indonesia, Bersifat fasis memanfaatkan  instrumen untuk menegakan kekusaan pemerintahannya
Pers mahasiswa dalam era ini, tidak terlalu banyak tercatat kemajuan berarti karena masa ini para mahasiswa dan pemuda sibuk dalam perjuangan politik untuk kemerdekaan Indonesia.

[3] Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi: Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik, Pers Harus Menjaga Kepentingan Publik, Pembatasan Pers
Pada jaman ini sedikit banyak Pers Mahasiswa mengalami suatu kemajuan artinya peluang untuk membentuk lermbaga-lembaga Pers Mahasiswa semakin terbuka lebar terutama buat para Mahasiswa dan Pemuda.

[4] Ciri-Ciri per Masa Demokrasi Liberal: Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak, Pembatasan Terhadap Pers, Adanya Tindakan Antipers
Dari tahun 1945-1948, belum banyak Pers Mahasiswa yang lahir secara terbuka, setelah Tahun 1950 barulah Pers Mahasiswa mengalami salah satu puncaknya di era ini.
[5] Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin: Tidak Adanya Kebebasan Pers, Adanya Ketegasan Terhadap Pers, Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers
Banyak Lembaga Pers mahasiswa yang mengalami kemunduran dan kematian, akibat pukulan politik ekonomi ataupun dinamika kebangsaan yang berkembang saat itu,

[6] Ciri-Ciri Pers Masa  Orde Baru: Kebebasan Terhadap Pers, Pers Masa itu Sangat Buram, Berkembangnya Dunia Pers
Setelah peristiwa G.30.S/PKI IPMI sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia terlibat penuh dalam usaha pelenyapan Demokrasi Terpimpin dan akhirnya melahirkan Aliansi Segitiga (Aktivis Pers Mahasiswa, Militer dan Teknokrat) untuk menghancurkan kondisi yang membelenggu bangsa dalam Outhoritarian. Pada awal era ini, Pers Mahasiswa kembali ke lembaganya yakni IPMI. Lembaga Pers Mahasiswa se Indonesia ini beorientasi jelas memaparkan kejelekan Demokrasi Terpimpin melibatkan diri dalam kegiatan politik dengan menjadi Biro Penerangan dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Di era ini tebit harian KAMI yang terkemuka yaitu Mahasiswa Indonesia (Jabar), Mimbar Demokrasi (Bandung) dan keduanya adalah penebitan resmi IPMI.

[7] Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi: Kebebasan Mengeluarkan Pendapat  (Pers adalah Hak Asasi Manusia), Wartawan Mempunyai Hak Tolak, Penerbit Wajib Memiliki SIUPP, Perusahaan Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk Mendapat SIUPP
Munculnya Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada dekade 90-an di tahun 1992-1993, munculnya kelompok studi dan forum -forum diskusi mahasiswa ataupun lembaga swadaya kemasyarakatan (LSM) baik yang didirikan oleh para aktivis mahasiswa ataupun pemuda yang prihatin terhadap kondisi lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar